Ah, menulis. Kadang-kadang terasa seperti pembicaraan santai dengan diri sendiri, menuangkan segala yang berputar di kepala. Tapi, tunggu dulu, ini bukan sekadar curahan hati di buku harian. Ini tentang jurnalistik, kata Buya Hamka. Beliau, sosok karismatik itu, seolah pernah berkata, “Jurnalisme itu suara kebenaran, obor penerang di tengah kegelapan.” Rasanya pas sekali dengan apa yang terjadi dulu ya? Dulu, saat kita masih berjuang, bertekad menuju kemerdekaan.
Coba kita berimajinasi. Zaman itu, informasi bukan sesuatu yang bisa kita dapatkan hanya dengan sekali klik. Koran, majalah, selebaran – itu jendela kita ke dunia, ke apa yang terjadi di pelosok negeri, ke semangat perjuangan yang membara. Di situlah kekuatan jurnalistik, menulis, unjuk gigi. Membandingkannya dengan sekarang? Jauh berbeda. Sekarang informasi tumpah ruah, kadang malah bikin bingung, mana yang benar, mana yang isapan jempol. Dulu, kata-kata tercetak punya bobot, punya nyawa.
Hamka, dengan segala kearifannya, melihat jurnalistik bukan sekadar melaporkan kejadian. Lebih dari itu, tulisannya adalah alat untuk membangunkan kesadaran, untuk menggerakkan hati. Ingat kutipannya yang sering didengar, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup.” Rasanya, semangat itu juga beliau bawa dalam dunia jurnalistik. Menulis bukan sekadar mencatat fakta, tapi juga menyampaikan pesan moral, memberikan makna pada setiap peristiwa. Ini kontras dengan mungkin beberapa pandangan jurnalistik modern yang lebih menekankan netralitas dan objektivitas – meskipun idealnya tetap ada nilai kebenaran di dalamnya.
"Jurnalistik adalah cermin bagi gerakan buruh; dengan menuliskan kisah dan realitas mereka, kita membangun kesadaran dan solidaritas yang tak terputus."
Lalu, mari kita lihat kekuatan penulisan secara umum dalam perjuangan kemerdekaan. Bukan sekedar artikel di koran, tapi juga puisi-puisi Chairil Anwar yang membakar semangat, pidato-pidato Bung Karno yang diabadikan dalam catatan, bahkan selebaran-selebaran sederhana yang berisi ajakan untuk melawan. Semua itu adalah senjata. Tinta menjadi peluru, kata-kata menjadi bom yang menghancurkan tembok penjajahan. Kita bisa melihat tulisan bagaimana mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat, dari Sabang sampai Merauke, dengan satu tujuan yang sama: merdeka! Ini beda kan dengan jurnalistik ala Hamka yang mungkin lebih fokus pada pesan moral dan kebenaran? Kekuatan penulisan kala itu lebih luas, mencakup berbagai bentuk ekspresi yang penting untuk menggalang persatuan dan membangkitkan perlawanan.
Namun, di titik temu yang menarik. Baik jurnalistik ala Hamka maupun kekuatan penulisan secara umum, keduanya sama-sama berjuang untuk kemerdekaan. Hamka dengan keyakinannya bahwa jurnalistik harus menjadi penyambung lidah kebenaran, membangunkan kesadaran akan harga diri bangsa. Sementara itu, bentuk-bentuk tulisan lain hadir sebagai pemantik semangat, pengobar rasa nasionalisme.
Keduanya saling melengkapi. Bayangkan jika hanya ada artikel-artikel jurnalistik yang penuh dengan analisis kritis, tanpa sentuhan emosi dari puisi atau orasi yang membara – mungkin semangat perjuangan tidak akan membantu itu. Sebaliknya, tanpa informasi yang jelas dan benar yang disajikan melalui jurnalistik, perjuangan bisa jadi kehilangan arah.
"Setiap huruf yang ditulis dalam jurnalistik adalah langkah maju bagi gerakan buruh; melalui pengetahuan dan informasi, kita mempersenjatai diri untuk melawan ketidakadilan."
Jadi, bisa dibilang, esensi pentingnya menulis jurnalistik menurut Buya Hamka terletak pada kejujuran dan kemampuan untuk menginspirasi. Beliau seolah ingin berkata, “Menulislah dengan hati, sampaikan kebenaran, dan gerakkan orang untuk berbuat baik.”
Hal ini selaras dengan kekuatan penulisan dalam merebut kemerdekaan, di mana setiap kata, setiap kalimat, bertujuan untuk membangkitkan semangat, menyatukan tekad, dan pada akhirnya, meraih kemerdekaan. Dulu, tulisannya adalah senjata ampuh. Sekarang pun, meski zaman sudah berubah, esensi dan kekuatan kata-kata itu rasanya tetap relevan, ya? Hanya saja, mungkin wadah dan cara yang berbeda. Tapi, semangat untuk menyampaikan kebenaran dan menginspirasi, itu tetap abadi.
"Menulis untuk gerakan buruh adalah bentuk pengabdian; dengan setiap artikel, kita meneguhkan hak dan martabat pekerja dalam masyarakat yang lebih luas." --Tim Media FSP FARKES-R
#BanggaBerserikat
2 Komentar
Gimana ya.. caranya supaya bisa lancar menulisss
BalasHapusTerima kasih sebelumnya atas responnya, agar kita dapat lancar menulis tentunya harus dimulai dengan mengasah ketrampilan menulis dengan metode jurnalistik, di lengkapi dengan mengeksplorasi tools/alat bantu tambahan membuat info grafis, visualisasi data agar apa yang di tulis itu sesuai dengan fakta bukan asumsi bukan hoaks, bisa hubungi tim kami untuk ikut serta dalam pelatihan-pelatihan menulis jurnalistik
BalasHapus