google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Topeng Lembaga Pelatihan: Membedah Pasal 14 UU Ketenagakerjaan dan Anomali "Magang" yang Merampas Hak Buruh

Topeng Lembaga Pelatihan: Membedah Pasal 14 UU Ketenagakerjaan dan Anomali "Magang" yang Merampas Hak Buruh

 



Pendahuluan

 

Pembangunan sumber daya manusia melalui pelatihan vokasi merupakan keniscayaan dalam menghadapi dinamika pasar kerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) mengatur berbagai aspek ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya pasal-pasal terkait pelatihan kerja. Pasal 14 khususnya, menjadi fondasi hukum bagi keberadaan dan jenis-jenis Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).

 

Secara normatif, pasal ini bertujuan mulia: memberikan kerangka legal bagi proses peningkatan keterampilan tenaga kerja demi daya saing dan kesejahteraan. Namun, di balik narasi formalistik pasal ini, praktik di lapangan menunjukkan adanya celah yang dimanfaatkan, bahkan disalahgunakan, menjadi "topeng terselubung" yang justru merugikan buruh, khususnya melalui skema "magang" yang menyimpang dari tujuan awalnya. Artikel advokasi ini akan membedah Pasal 14 UU 13/2003 dari sisi fungsi hukum, redaksi, korelasinya dengan aturan lain dan adagium hukum, serta membongkar anomali multitafsir dan pelanggaran yang terjadi, demi menyuarakan pentingnya perlindungan buruh dan perbaikan regulasi.

 

 

Membedah Pasal 14 UU 13/2003: Fungsi Hukum dan Redaksi

 

Pasal 14 UU 13/2003 berbunyi:

 

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja dapat dimiliki oleh:

a. pemerintah;

b. swasta; atau

c. industri.

(2) Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk badan hukum Indonesia.

 

Secara fungsi hukum, Pasal 14 ini adalah pasal kategorisasi dan legitimasi. Ia memberikan dasar hukum bagi eksistensi berbagai jenis LPK berdasarkan kepemilikannya: pemerintah, swasta, dan industri. Keberadaan pasal ini secara formal melegitimasi peran ketiga jenis entitas ini dalam menyelenggarakan pelatihan kerja di Indonesia.

Redaksi pasal ini terbilang lugas dan sederhana. Ayat (1) membagi LPK berdasarkan subjek kepemilikan, sementara Ayat (2) mengatur mengenai bentuk badan hukumnya. Tidak ada kerumitan tata bahasa yang berarti pada pasal ini jika dilihat secara berdiri sendiri.

Redaksinya fokus pada siapa yang boleh memiliki LPK dan bentuk lembaga tersebut, bukan pada apa yang harus dilatih atau siapa yang boleh menjadi pesertanya.

 

Namun, kesederhanaan redaksi inilah yang, ketika dikorelasikan dengan pasal lain dan praktik di lapangan, membuka ruang multitafsir atau lebih tepatnya, celah untuk penyalahgunaan. Fungsi pasal ini sebatas "menyediakan wadah" (LPK) tanpa secara ketat mengunci "tujuan dan subjek" dari pelatihan yang diselenggarakan di dalamnya, terutama ketika pelatihan itu dikamuflasekan sebagai program "magang".

 

Korelasi dengan Adagium Hukum: Summum ius, summa iniuria

 

Kasus penyalahgunaan skema "magang" yang dilegalisasi melalui LPK swasta atau industri, seperti yang akan diuraikan nanti, sangat relevan dengan adagium hukum Summum ius, summa iniuria.

 Adagium ini berarti "Hukum tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi." Maknanya, penerapan hukum secara kaku, formalistik, dan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan substantif justru dapat melahirkan ketidakadilan yang luar biasa.

 

Dalam konteks Pasal 14 dan praktik penyalahgunaan LPK, hukum (Pasal 14 yang melegitimasi LPK, dan peraturan magang yang mengatur bentuk magang) digunakan secara formal untuk menciptakan status "magang" bagi buruh yang substansinya adalah pekerja berpengalaman.

Secara formal, ada dokumen perjanjian magang, ada LPK yang menyelenggarakan (atau sekadar memfasilitasi), dan ada label "peserta magang". Summum ius (hukum formal/bentuk) terpenuhi, namun summa iniuria (ketidakadilan tertinggi) terjadi ketika buruh yang seharusnya mendapat upah layak, jaminan sosial, dan kepastian kerja sesuai pengalaman dan status mereka sebagai pekerja, justru "diturunkan kasta" menjadi peserta magang dengan upah rendah dan tanpa hak-hak ketenagakerjaan yang memadai. Legalitas formal LPK dan program magang dijadikan alat untuk melegitimasi praktik eksploitatif yang secara substansial melanggar prinsip keadilan dan hak-hak buruh.

 

Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

 

Hingga saat penulisan ini, belum terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi yang secara spesifik membatalkan atau menguji konstitusionalitas Pasal 14 UU 13/2003 terkait dengan isu penyalahgunaan LPK sebagai topeng skema magang bagi buruh berpengalaman. Putusan MK terkait UU 13/2003 lebih sering menyasar pasal-pasal lain seperti outsourcing, pesangon, PHK, dan PKWT (beberapa di antaranya telah diperbarui atau diubah melalui UU Cipta Kerja dan aturan turunannya).

 

Perlu dicatat bahwa absennya putusan MK yang secara langsung membatalkan Pasal 14 terkait isu spesifik ini bukan berarti pasal tersebut bebas masalah. Ini lebih menunjukkan bahwa isu penyalahgunaan ini kemungkinan besar terletak pada implementasi dan interpretasi lintas peraturan (antara aturan LPK, aturan Magang, dan aturan PKWT), bukan pada inkonstitusionalitas Pasal 14 itu sendiri secara redaksional. Namun, praktik penyalahgunaan ini bisa menjadi dasar pengujian konstitusionalitas Pasal 14 jika dianggap bahwa frasa atau ketiadaan frasa tertentu di dalamnya memungkinkan atau tidak mencegah terjadinya ketidakadilan yang melanggar UUD 1945.

 

Korelasi dengan Aturan Lain yang Relevan

 

Pasal 14 UU 13/2003 tidak dapat dibaca terpisah dari aturan lain, baik dalam UU 13/2003 itu sendiri maupun peraturan pelaksananya dan peraturan lain yang relevan, terutama setelah berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) beserta peraturan turunannya.

 

Aturan Magang (Apprenticeship): Regulasi magang, seperti yang kini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Hubungan Kerja Waktu Tidak Tertentu (PP 35/2021) dan sebelumnya diatur dalam PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, menyatakan bahwa magang adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan untuk calon tenaga kerja atau tenaga kerja yang ingin meningkatkan keterampilan melalui berlatih kerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan. PP 35/2021 secara eksplisit menyebutkan bahwa program magang dilaksanakan berdasarkan perjanjian magang antara peserta dan pengusaha, dan perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian kerja. Tujuan magang adalah untuk memberikan kesempatan belajar dan menguasai keterampilan atau keahlian.

 

Aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT): UU 13/2003 (sebelum diubah UU Cipta Kerja) dan kini PP 35/2021 mengatur ketat mengenai jangka waktu dan perpanjangan PKWT. Tujuannya adalah memberikan kepastian kerja bagi buruh dan mencegah penggunaan PKWT yang berlebihan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Jika PKWT melampaui batas waktu atau syarat perpanjangan, ia demi hukum berubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu), yang memberikan hak-hak lebih besar kepada buruh (misalnya pesangon jika di-PHK).

 

Korelasi antara Pasal 14 (tentang LPK), aturan Magang, dan aturan PKWT menjadi krusial. LPK (terutama LPK  Swasta  dan LPK Industri) adalah entitas yang menyelenggarakan pelatihan, termasuk potensi program "magang". Aturan magang mendefinisikan magang dan pesertanya (seharusnya pelajar, pencari kerja, atau buruh yang benar-benar perlu belajar keterampilan baru).

 

Multitafsir, Anomali Pelanggaran, dan "Topeng Terselubung"

 

Inilah inti permasalahan advokasi buruh terkait Pasal 14. Multitafsir dan anomali terjadi bukan pada redaksi Pasal 14 itu sendiri, tetapi pada implementasi dan ketiadaan batasan eksplisit yang menghubungkan Pasal 14 dengan peraturan magang, yang kemudian dimanfaatkan untuk pelanggaran.

 

Anomalinya adalah:

 

Penggunaan LPK sebagai Formalitas: LPK swasta atau LPK industri (milik perusahaan itu sendiri atau afiliasinya) digunakan sekadar sebagai formalitas untuk menyelenggarakan program "magang". Legalitas LPK (berdasarkan Pasal 14) menjadi dasar formal adanya program "magang" tersebut.

 

"Penurunan Kasta" Buruh PKWT: Pelanggaran paling parah adalah skema "penurunan kasta" buruh yang sebelumnya berstatus PKWT, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun dikontrak. Ketika kontrak PKWT mereka berakhir (seringkali mendekati batas waktu yang diatur undang-undang agar tidak menjadi PKWTT), mereka tidak diangkat menjadi PKWTT, tidak diperpanjang PKWT-nya, atau bahkan diputus hubungan kerja. Sebaliknya, mereka "ditawari" atau "dipaksa" untuk "ikut program magang" melalui LPK swasta atau LPK industri yang berafiliasi dengan perusahaan tersebut.

 

Peserta Magang yang Seharusnya: Peserta magang yang ideal, sesuai tujuan awal magang, adalah anak sekolah/mahasiswa vokasi yang sedang belajar, atau pencari kerja yang memang belum memiliki keterampilan dan perlu belajar dari nol di lingkungan industri. Mereka datang untuk belatih, bukan untuk bekerja secara produktif menggantikan pekerja yang sudah berpengalaman.

 

Peserta "Magang" yang Menjadi Buruh Produktif: Dalam skema anomali ini, "peserta magang" ini adalah buruh berpengalaman yang sudah tahu cara kerja, bahkan sudah melakukan pekerjaan yang sama selama bertahun-tahun sebagai buruh PKWT di perusahaan yang sama. Mereka tidak sedang "belajar" keterampilan dasar; mereka bekerja secara produktif seperti sebelumnya, namun dengan status, bayaran (seringkali hanya uang saku magang yang jauh di bawah UMP/UMK atau upah sebelumnya), dan hak yang jauh lebih rendah daripada status buruh.

 

Merampas Hak Buruh: Praktik ini adalah pelanggaran berat terhadap hak-hak buruh. Buruh kehilangan hak atas upah layak, jaminan sosial penuh (BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan yang berbeda), cuti, pesangon (jika di-PHK), dan hak berserikat atau berunding. Perjanjian "magang" yang ditandatangani bukanlah perjanjian kerja, sehingga perlindungan hukum ketenagakerjaan menjadi sangat minim. Namun dalam penerapannya tidak ada sanksi yang signifikan dan lemahnya Pengawas Ketenaga Kerjaan membongkar motif Pemagangan bertahun-tahun.

 

Narasi multitafsir atau penyalahgunaan ini muncul karena Pasal 14 hanya melegitimasi LPK, sementara aturan magang (meskipun secara ideal mendefinisikan pesertanya) tidak secara eksplisit dan tegas melarang penggunaan status "magang" untuk buruh yang pernah di kontrak bertahun-tahun atau calon buruh fresh graduate.

Kelemahan dalam kerangka regulasi yang ada, seperti ketiadaan larangan eksplisit yang mencegah penyalahgunaan status 'magang' bagi individu yang seharusnya diangkat menjadi pekerja , secara efektif menciptakan 'topeng' yang sempurna. Ini memungkinkan perusahaan menggunakan label 'magang' untuk menampung mereka yang sebenarnya berfungsi sebagai pekerja penuh, baik yang berpengalaman maupun lulusan baru, merampas hak-hak mereka atas status kepegawaian yang jelas dan kepastian kerja serta jaminan sosial yang seharusnya mereka terima.

Fenomena 'magang abadi' sebagai substitusi kontrak kerja terus-menerus yang sarat eksploitasi, bukanlah sekadar interpretasi ganda terhadap aturan, melainkan simptom/Gejala akut, dari kegagalan sistem hukum ketenagakerjaan kita dalam mengikuti dinamika pasar kerja dan melindungi hak-hak dasar pekerja. Diperlukan intervensi untuk hadirnya  regulasi yang lebih mendalam dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa 'magang' menjalankan fungsi edukatifnya, bukan sebagai alat untuk menekan upah dan menghindari kewajiban sosial, demi mewujudkan keadilan dan kepastian bagi seluruh angkatan kerja.

 

Bidang ADVOKASI FSP FARKES-R

Olah kata dan Publikasi : Tim Media FSP FARKES-R 

 

Posting Komentar

0 Komentar