google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Outsourcing: Ketika Fleksibilitas Ekonomi Menguji Fondasi Hubungan Industrial Pancasila di Dunia Kerja Indonesia

Outsourcing: Ketika Fleksibilitas Ekonomi Menguji Fondasi Hubungan Industrial Pancasila di Dunia Kerja Indonesia

 

Jakarta, Redaksi Media Farkes-R – Di era ekonomi yang serba gesit dan membutuhkan fleksibilitas tinggi, praktik alih daya atau outsourcing kian menjamur di berbagai sektor industri Indonesia. Janji efisiensi operasional dan kemampuan perusahaan untuk fokus pada bisnis inti menjadi daya tarik utamanya. Namun, di balik efisiensi itu, muncul suara-suara kritis yang mempertanyakan: Apakah praktik alih daya ini diam-diam tengah menggerogoti fondasi unik hubungan kerja di Indonesia, yaitu Hubungan Industrial Pancasila (HIP)?

Hubungan Industrial Pancasila bukanlah sekadar teori di atas kertas. Ia digagas sebagai landasan hubungan harmonis antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah, yang dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila seperti kekeluargaan, gotong royong, musyawarah, serta keseimbangan hak dan kewajiban demi terciptanya kesejahteraan bersama dan keadilan sosial. Ini adalah model yang menekankan kebersamaan, jaminan kerja, dan rasa memiliki dalam satu 'rumah besar' perusahaan.

Jembatan yang Renggang: Outsourcing vs. Nilai HIP

Kontras dengan semangat HIP yang mengusung kebersamaan jangka panjang layaknya sebuah keluarga, praktik alih daya seringkali menciptakan jarak. Pekerja alih daya secara hukum adalah karyawan perusahaan penyedia jasa (vendor), bukan perusahaan pengguna jasa (user). Ini menimbulkan beberapa persoalan pelik:

  1. Kerapuhan Jaminan Kerja: Pekerja alih daya seringkali terikat kontrak jangka pendek, bergantung pada kelangsungan kontrak antara perusahaan user dan vendor. Rasa aman dan kepastian kerja yang menjadi salah satu elemen penting dalam HIP menjadi sulit terwujud. Ini berbeda dengan semangat HIP yang mendorong hubungan kerja yang langgeng dan stabil.
  2. Kesenjangan Kesejahteraan: Meskipun bekerja di lingkungan yang sama, seringkali terdapat disparitas signifikan dalam hal upah, tunjangan, fasilitas, bahkan perlakuan antara pekerja tetap perusahaan user dan pekerja alih daya. Kesenjangan ini jelas kontradiktif dengan prinsip keseimbangan hak, keadilan, dan kesejahteraan bersama yang diamanatkan HIP.
  3. Mengikis Rasa Memiliki dan Kekeluargaan: Pekerja alih daya bisa merasa seperti 'orang luar' di tempat mereka bekerja sehari-hari. Kurangnya integrasi ke dalam budaya perusahaan user, keterbatasan akses terhadap program pengembangan karier, serta minimnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam forum-forum internal perusahaan pengguna, secara langsung melemahkan semangat kekeluargaan dan rasa memiliki yang menjadi ruh HIP.
  4. Kompleksitas Dialog Sosial: Hubungan industrial menjadi lebih rumit karena melibatkan tiga pihak (pekerja, perusahaan vendor, dan perusahaan user). Proses dialog, perundingan, atau penyelesaian sengketa menjadi tidak sederhana, berpotensi melemahkan posisi tawar pekerja dan mengaburkan tanggung jawab.

Lanskap Hukum yang Berubah: Dari Pembatasan ke Kelonggaran?

Secara hukum, praktik alih daya di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebelum diamandemen, dalam Pasal 64, 65, dan 66, secara spesifik membatasi alih daya hanya pada pekerjaan penunjang atau non-inti, serta mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja jika terjadi pergantian vendor. Pasal-pasal ini (terutama Pasal 65 dan 66) pada masanya dianggap upaya untuk melindungi pekerja alih daya dan memastikan mereka tidak digunakan untuk pekerjaan inti yang seharusnya diisi oleh pekerja tetap.

Namun, lanskap ini berubah drastis dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam PP 35/2021, ketentuan mengenai pembatasan alih daya pada pekerjaan non-inti dihapus. Artinya, praktik alih daya kini bisa dilakukan untuk hampir semua jenis pekerjaan, sepanjang memenuhi persyaratan perlindungan kerja yang diatur dalam PP tersebut, seperti pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi penggantian perusahaan alih daya (Pasal 19 PP 35/2021).

Secara eksplisit, hukum mencoba memberikan perlindungan minimal bagi pekerja alih daya melalui PP 35/2021. Namun, semangat undang-undang yang kini lebih fleksibel dalam hal jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan, secara implisit membuka ruang praktik yang berpotensi jauh dari idealisme HIP. Ketiadaan batasan jenis pekerjaan membuat model hubungan kerja berdasarkan "keluarga besar di satu perusahaan" semakin sulit diterapkan pada unit-unit kerja yang diisi oleh pekerja alih daya.

Dilema dan Tantangan ke Depan

Situasi ini menghadirkan dilema: di satu sisi, fleksibilitas alih daya memang dibutuhkan agar dunia usaha bisa bergerak lincah dan bersaing. Di sisi lain, ekspansi praktik alih daya tanpa pengawasan ketat dan komitmen kuat terhadap prinsip HIP berisiko menciptakan kelas pekerja 'dua lapis' dengan hak dan perlindungan yang berbeda, mengikis kebersamaan, dan pada akhirnya melemahkan fondasi hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan sesuai amanat Pancasila.

Tantangan besar kini terletak pada implementasi dan pengawasan. Regulasi dalam PP 35/2021 yang mensyaratkan pengalihan perlindungan hak pekerja saat pergantian vendor harus benar-benar dijalankan. Lebih dari itu, baik pengusaha user maupun vendor perlu menumbuhkan kesadaran bahwa pekerja alih daya bukanlah sekadar 'tenaga kerja sewaan' yang bisa diperlakukan berbeda, melainkan bagian integral dari proses produksi atau layanan yang turut berkontribusi pada kemajuan perusahaan.


Membangun kembali jembatan yang renggang antara fleksibilitas alih daya dan idealisme HIP membutuhkan upaya bersama. Dialog sosial yang konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja menjadi kunci. Pengawasan ketat, penegakan hukum yang konsisten, serta komitmen pengusaha untuk tetap mengedepankan kesejahteraan dan martabat pekerja – siapa pun perusahaan yang menggaji mereka – adalah prasyarat mutlak agar janji efisiensi alih daya tidak dibayar mahal dengan terkikisnya nilai-nilai luhur Hubungan Industrial Pancasila di negeri ini.

Alih daya mungkin adalah keniscayaan di era modern, namun menjaga agar ia tidak menjadi 'pisau bermata dua' yang menggerogoti sendi-sendi kekeluargaan dan keadilan dalam dunia kerja adalah tanggung jawab kita bersama, demi kelangsungan Hubungan Industrial Pancasila yang kokoh.


Baca juga : Serial Dialog Imajiner, Ketika H. Fakhrudin, bangkit dari alam Fana dan bahas wacana penghapusan outsourcing disni


Bidang Advokasi FSP FARKES-R

Tim Media FSP FARKES-R

Potret Buram Outsourcing

Potret #1

Fakta data Outsorcing

Estimasi menunjukkan bahwa pada tahun 2011,sekitar 40–50% tenaga kerja di sektor formal berasal dari skema outsourcing.


Angka ini menunjukkan tren yang mirip dengan kondisi di negara lain seperti Jepang, di mana sekitar 40% pekerja formal juga berada dalam sistem kerja serupa, meskipun pendekatankebijakandanperlindungannya berbeda.

Forum Komunikasi Asosiasi Alih Daya Indonesia (FAADI), yang membawahi lebih dari 3.000 perusahaan outsourcing, memperkirakan jumlah pekerja outsourcing di Indonesia telah melampaui angka 3 juta orang pada tahun 2020, tersebar di berbagai sektor industri. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor penunjang, seperti jasa keamanan, kebersihan, logistik, dan layanan katering.


Sumber : TrenAsia, 05 Mei 2025, Penulis : Idham Nur Indrajaya

Penggunaan tenaga kerja outsourcing di Indonesia

menunjukkan tren peningkatan, bahkan di sektor-sektor yang

sebelumnya dianggap sebagai pekerjaan inti. Salah satu contoh

mencolok datang dari Teguk Indonesia, sebuah perusahaan ritel

minuman yang pada Februari 2025 tercatat hanya memiliki 4 orang

karyawan tetap. Sementara itu, jumlah tenaga kerja outsourcing-nya melonjak tajam dari 67 orang pada September 2024 menjadi 483 orang pada Desember 2024. Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan perusahaan berskala kecil sekalipun kini mulai bergantung pada sistem outsourcing.


Riset internasional menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia, sebagaimana di banyak negara ASEAN lainnya, paling sering menggunakan outsourcing untuk layanan pendukung.

Contohnya termasuk teller bank, bagian perakitan di industri elektronik, hingga bagian farmasi

OUTSOURCING = MODERN SLAVERY

Lebih lanjut, laporan Gabungan Serikat Pekerja mencatat bahwa banyak perusahaan kini secara sistematis mengonversi pegawai tetap menjadi pekerja outsourcing. Konversi ini berdampak pada turunnya pendapatan dan terbatasnya akses pekerja terhadap jaminan sosial.


Sebagai contoh, pada Desember 2024, Aliansi Buruh Migas (KASBI) mencatat ada 226 pekerja outsourcing di Pertamina Cepu yang belum menerima hak-haknya, termasuk gaji, iuran BPJS, dan tunjangan hari raya (THR), dengan total kerugian mencapai sekitar Rp2,35 miliar.


di sektor publik, terutama Badan Usaha Milik Negara (BUMN), praktik outsourcing juga mendapat sorotan tajam. Beberapa BUMN memang telah mulai mengangkat pekerja outsourcing menjadi pegawai tetap, namun di sisi lain, laporan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak akibat pengalihan ke skema outsourcing juga terus bermunculan. Hal ini menambah kompleksitas persoalan outsourcing, terutama ketika menyangkut hak-hak dasar pekerja dan keberlangsungan pekerjaan yang layak.

PENGUSAHA vs. SERIKAT

BEDA PENDAPAT

PENGUSAHA OUTSORCING

SERIKAT PEKERJA

Asosiasi Alih Daya Indonesia (ABADI)

dan FAADI mendorong dialog dengan pemerintah. Ketua FAADI,

Mira Sonia, meminta keringanan iuran BPJS Kesehatan bagi

perusahaan outsourcing yang terdampak pandemi.


Namun, asosiasi mengakui maraknya PHK selama 2020–2021, bahkan meski aturan baru kontrak lima tahun sudah berlaku banyak kontrak

outsourcing tidak diperpanjang atau di-PHK tanpa pesangon.


Serikat pekerja dan LBH ketenagakerjaan menyebut praktik

“outsourcing terselubung” terjadi di berbagai industri. Misalnya,

Geber BUMN (gabungan serikat pekerja BUMN) melaporkan masih

dijumpai vendor outsourcing di banyak BUMN, termasuk tanpa

mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan/Ketenagakerjaan

Demonstrasi ini melibatkan ribuan buruh, yang sebagian

mengeluhkan PHK sepihak (misal 1.095 sopir tangki Pertamina,

600 karyawan Krakatau Steel) akibat pemutusan kontrak

outsourcing.

Marthin Luther King Jr

  1. "Kejahatan kapitalisme sama nyatanya dengan kejahatan militerisme dan kejahatan rasisme."
    -Pidato kepada Dewan SCLC, 30 Maret 1967.

farkes.or.id

dialektika buruh

APAKAH

ANDA

TAU?

Fenomena Maraknya Outsourcing di Indonesia Penggunaan tenaga kerja outsourcing di Indonesia terus menunjukkan tren peningkatan, bahkan di sektor-sektor yang sebelumnya dianggap sebagai pekerjaan inti.

Posting Komentar

0 Komentar