Pengantar Eksekutif
Urgensi Aksi Politik Kelas Pekerja dalam Konteks Indonesia Kontemporer
Perjuangan kelas pekerja di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, ditandai oleh pasang surut dalam menghadapi dinamika politik dan ekonomi. Meskipun telah ada kemajuan dalam pengakuan hak-hak buruh pasca-reformasi, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya praktik-praktik eksploitatif, pengupahan rendah, kondisi kerja yang tidak aman, dan ketidakpastian kerja yang meluas, terutama melalui sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) yang kian merajalela. Data-data empiris dari berbagai studi (misalnya, laporan ILO, kajian akademis tentang pasar tenaga kerja Indonesia) secara konsisten menunjukkan bahwa sektor informal dan pekerja dengan status kerja rentan menghadapi kerentanan ekonomi dan sosial yang jauh lebih tinggi, minim perlindungan jaminan sosial, dan kesulitan dalam berserikat atau berunding secara kolektif. Fenomena ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum dan regulasi yang dalam praktiknya seringkali lebih berpihak pada kepentingan modal dibandingkan kesejahteraan pekerja.
Diskursus mengenai relasi kuasa antara modal dan tenaga kerja dalam sistem kapitalisme menunjukkan bahwa dominasi ekonomi modal cenderung diterjemahkan menjadi pengaruh politik yang signifikan. Kekuatan finansial memungkinkan lobi yang kuat terhadap pembuat kebijakan, berujung pada regulasi yang memfasilitasi akumulasi kapital, seringkali dengan mengorbankan hak dan kesejahteraan pekerja. Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam kemudahan PHK, lemahnya pesangon, dan pelonggaran ketentuan terkait upah minimum atau jam kerja dalam beberapa revisi undang-undang ketenagakerjaan.
Menghadapi realitas ini, perjuangan serikat pekerja di tingkat industri dan perusahaan, meskipun krusial, seringkali menemui hambatan struktural ketika tidak didukung oleh kekuatan politik yang memadai di tingkat nasional, baik di parlemen maupun eksekutif. Pengalaman empiris di banyak negara menunjukkan E bahwa partisipasi langsung atau dukungan kuat dari partai politik yang berafiliasi dengan gerakan buruh merupakan prasyarat penting untuk mendorong agenda pro-pekerja ke dalam kebijakan publik dan legislasi yang mengikat.
Oleh karena itu, pembentukan Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh (KSP-PB) merupakan langkah strategis yang esensial dan mendesak. Ini adalah pengakuan terhadap fakta bahwa political power grows out of economic power, tetapi political action juga diperlukan untuk menyeimbangkan atau mentransformasi relasi kuasa ekonomi tersebut. Koalisi ini lahir dari konsolidasi pada 14 Mei 2025, yang menyepakati bahwa perjuangan di ranah politik dan legislasi tidak bisa lagi hanya diserahkan kepada aktor politik konvensional yang seringkali terebut oleh kepentingan lain, melainkan harus diambil langsung oleh kelas pekerja dan elemen rakyat tertindas lainnya melalui kendaraan politik mereka sendiri, yaitu Partai Buruh, yang didukung oleh serikat pekerja dan organisasi rakyat lainnya. Deklarasi pada 20 Mei 2025 di Gedung Joang ’45, yang dihadiri 500 perwakilan dari spektrum luas organisasi rakyat, meneguhkan komitmen ini dan menandai dimulainya fase perjuangan politik terintegrasi.
Permasalahan dan Analisis Kritis
Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh mengidentifikasi beberapa permasalahan struktural dan kebijakan fundamental yang menghambat terwujudnya keadilan sosial dan demokrasi di Indonesia, khususnya bagi kelas pekerja dan elemen rakyat lainnya:
Praktik Kerja Prekaritas Melalui Sistem Kontrak dan Alih Daya: Sistem kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) telah menjadi norma di banyak sektor, menciptakan kondisi kerja yang tidak pasti, upah rendah, minimnya jaminan sosial dan kesehatan, serta secara signifikan menghambat kemampuan pekerja untuk berserikat dan menuntut hak. Secara teoritis, sistem ini melemahkan posisi tawar buruh secara fundamental dan berkontribusi pada pelemahan serikat pekerja sebagai institusi demokratis di tempat kerja. Hal ini menciptakan segmentasi pasar tenaga kerja yang tidak adil, di mana pekerja tetap menikmati perlindungan yang relatif lebih baik dibandingkan pekerja kontrak/outsourcing, meskipun melakukan pekerjaan yang sama. Studi-studi tentang fleksibilisasi pasar tenaga kerja (flexicurity debate) menunjukkan bahwa tanpa jaring pengaman sosial yang kuat dan perlindungan hak berserikat, fleksibilitas justru berujung pada prekaritas massal.
Kelemahan Regulasi Ketenagakerjaan dan Penegakan Hukum: Undang-undang dan regulasi ketenagakerjaan yang ada, dalam pandangan KSP-PB, belum sepenuhnya berpihak pada buruh. Bahkan, beberapa revisi regulasi cenderung melonggarkan perlindungan buruh (misalnya, melalui Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial). Mekanisme penyelesaian perselisihan industrial seringkali berbelit dan tidak adil bagi buruh. Penegakan hukum terkait norma kerja, upah, dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) juga masih lemah. Ironisnya, komitmen politik dari Presiden Republik Indonesia terkait isu buruh (seperti penghapusan outsourcing, pembentukan Satgas PHK, pendirian Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional) seringkali tidak diimplementasikan secara konsisten atau efektif, menunjukkan adanya jarak antara retorika politik dan tindakan nyata.
Marginalisasi Kelompok Pekerja Rentan: Pekerja rumah tangga (PRT), buruh migran, guru honorer, nelayan, dan pekerja informal lainnya seringkali berada di luar jangkauan perlindungan hukum yang memadai. Mereka menghadapi risiko kekerasan, eksploitasi, upah di bawah standar, dan kondisi kerja yang sangat rentan tanpa mekanisme pengaduan dan perlindungan yang efektif. Data dari organisasi masyarakat sipil dan NGO yang mendampingi kelompok-kelompok ini menunjukkan tingginya angka kasus kekerasan, penipuan, dan pelanggaran hak. Ketiadaan kerangka hukum yang spesifik dan kuat untuk melindungi mereka (seperti UU PRT yang tak kunjung disahkan) mencerminkan kelemahan negara dalam menjamin hak dasar warganya.
Ketidakadilan Struktur Agraria dan Pangan: Isu agraria dan pangan, meskipun tampaknya terpisah dari isu perburuhan formal, memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan rakyat pekerja secara luas. Ketidakadilan dalam penguasaan tanah dan sumber daya alam, serta kebijakan pangan yang tidak berpihak pada petani kecil, berdampak langsung pada kenaikan biaya hidup, kerentanan pangan, dan migrasi desa-kota yang meningkatkan pasokan tenaga kerja rentan di perkotaan. Revisi regulasi reforma agraria dan pangan yang bias modal atau tidak tuntas memperparah kemiskinan struktural di pedesaan dan berkontribusi pada ketidaksetaraan. Krisis iklim dan ketidakpastian pangan global semakin menggarisbawahi urgensi reforma agraria dan kedaulatan pangan berbasis rakyat. Kepres Reforma Agraria perkotaan juga relevan dalam konteks penataan ruang kota yang seringkali menggusur permukiman kumuh tanpa solusi memadai bagi warga miskin kota, yang mayoritas adalah pekerja informal atau buruh upahan rendah.
Keterwakilan Politik yang Lemah dan Dominasi Modal: Sistem politik dan legislasi yang ada cenderung didominasi oleh kekuatan modal dan elit politik yang tidak sepenuhnya mewakili kepentingan kelas pekerja dan rakyat miskin. Hal ini terlihat dari alur proses legislasi yang seringkali tertutup dan hasil undang-undang yang cenderung pro-bisnis. Kurangnya keterwakilan langsung dari unsur serikat pekerja dan organisasi rakyat di parlemen menyebabkan suara dan aspirasi mereka terpinggirkan dalam perumusan kebijakan publik.
Posisi dan Rekomendasi Kebijakan KSP-PB
Berdasarkan analisis permasalahan di atas, Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh mengambil posisi tegas untuk memperjuangkan perubahan struktural melalui aksi politik dan legislasi. Koalisi ini mengusulkan dan mendesak implementasi agenda konkret sebagai berikut:
Penguatan Regulasi Ketenagakerjaan yang Berpihak pada Buruh:
Pembentukan Draf Sandingan UU Ketenagakerjaan: KSP-PB akan menyusun dan mengajukan draf tandingan (sandingan) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan standar ILO. Draf ini akan secara fundamental menghapus sistem kerja kontrak dan alih daya dalam bentuknya yang mengeksploitasi, memastikan semua pekerja memiliki status yang jelas dengan perlindungan yang setara.
Pemenuhan Komitmen Politik Presiden: Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk segera dan efektif memenuhi komitmen politiknya terkait isu buruh, termasuk:
Penghapusan secara bertahap dan terukur sistem outsourcing yang destruktif.
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan PHK yang memiliki kewenangan kuat untuk mencegah PHK sepihak dan memastikan hak-hak pekerja terpenuhi dalam kasus PHK yang tak terhindarkan.
Pendirian Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang melibatkan representasi signifikan dari serikat pekerja untuk merumuskan dan mengawal kebijakan peningkatan kesejahteraan buruh secara komprehensif (upah layak, jaminan sosial, perumahan, dll.).
Perlindungan Menyeluruh bagi Pekerja Rentan:
Mendesak pengesahan dan implementasi UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan penguatan perlindungan bagi buruh migran melalui ratifikasi konvensi internasional yang relevan dan perbaikan sistem penempatan dan perlindungan di negara tujuan.
Memperjuangkan pengakuan status dan perlindungan yang layak bagi guru honorer dan nelayan, termasuk jaminan kesejahteraan, akses pada program jaminan sosial, dan perlindungan hukum atas hak-hak mereka.
Reformasi Agraria dan Kedaulatan Pangan Berbasis Rakyat:
Mendesak revisi regulasi reforma agraria dan pangan untuk memastikan redistribusi tanah yang adil, pengakuan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil, serta pengembangan kedaulatan pangan lokal yang mandiri.
Mendorong penerbitan dan implementasi Keputusan Presiden (Kepres) mengenai Reforma Agraria perkotaan untuk mengatasi ketidakadilan penguasaan lahan di perkotaan dan menjamin hak permukiman yang layak bagi warga miskin kota.
Pengakuan dan Penghormatan terhadap Pejuang Buruh:
Mengusulkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional sebagai simbol perlawanan buruh dan martir perjuangan hak-hak pekerja di Indonesia. Pengangkatan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional akan menjadi pengakuan negara atas pentingnya perjuangan kelas pekerja dan penghormatan terhadap pengorbanan para aktivis buruh.
Penguatan Demokrasi Partisipatif:
Mendorong keterlibatan minimal 30 persen perempuan dalam setiap tingkatan struktur dan aktivitas koalisi dan Partai Buruh, sebagai perwujudan komitmen pada kesetaraan gender dan pengakuan atas peran krusial perempuan dalam gerakan sosial dan politik.
Membuka diri bagi semua organisasi rakyat yang memiliki visi keadilan sosial dan demokrasi sejati untuk bergabung dalam koalisi ini, membangun kekuatan politik yang luas dan inklusif berbasis massa.
Mekanisme Perjuangan
Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh akan menggunakan berbagai mekanisme perjuangan politik dan sosial, termasuk namun tidak terbatas pada:
Advokasi legislasi di parlemen melalui fraksi Partai Buruh dan lobi intensif dengan anggota parlemen lainnya.
Tekanan politik melalui aksi massa, demonstrasi, dan kampanye publik untuk membangun kesadaran dan mobilisasi dukungan rakyat.
Dialog dan negosiasi dengan pemerintah dan pihak terkait, dengan basis argumen yang kuat dan didukung data.
Edukasi politik dan pengorganisasian massa di tingkat basis serikat pekerja, organisasi perempuan, petani, dan elemen rakyat lainnya.
Penguatan jaringan aliansi dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan elemen pro-demokrasi lainnya.
Koalisi ini terhimpun dalam Presidium KSP-PB yang merepresentasikan berbagai elemen pembentuk koalisi, mencerminkan persatuan dan keberagaman dalam perjuangan. Presidium ini terdiri dari nama-nama yang berasal dari berbagai organisasi kunci, yaitu:
Agus Supriyadi – Partai Buruh
Ramidi – KSPI
R. Abdullah – KSPSI AGN
Ilhamsyah – KPBI
Hendrik Hutagalung – KSBSI
Agus Ruli Ardiansyah – SPI
Yoshi Erlina – PERCAYA
Didi Suprijadi – FPTHSI
Ikhsan Raharjo – SINDIKASI
dr. Roy Tanda Anugrah Sihotang, MARS
Pembentukan Koalisi ini juga mendapatkan dukungan dan pengakuan dari tokoh-tokoh penting dalam gerakan buruh dan organisasi rakyat, antara lain:
Said Iqbal – Presiden KSPI & Partai Buruh
Ferri Nuzarli – Sekjend Partai Buruh
Andi Gani Nena Wea – Presiden KSPSI
Ilhamsyah – Ketua Umum KPBI
Johannes Darta Pakpahan – Ketua Umum KSBSI
Henry Saragih – Ketua Umum SPI
Nani Kusmaeni – Ketua Umum PERCAYA
Struktur ini mencerminkan fondasi yang kokoh dari organisasi massa yang besar dan berpengalaman, memberikan legitimasi dan kekuatan yang signifikan bagi Koalisi gerakan buruh dalam menjalankan agenda politiknya.
Menuju Masa Depan yang Adil dan Demokratis
Pembentukan Koalisi Serikat Pekerja – Partai Buruh adalah respons historis terhadap tantangan struktural yang dihadapi kelas pekerja dan rakyat Indonesia. Ini adalah penegasan kembali bahwa perjuangan ekonomi harus berpadu dengan perjuangan politik untuk mencapai perubahan yang transformatif. KSP-PB bukan sekadar wadah koordinasi, melainkan sebuah gerakan politik
Jakarta 20 Mei 2025.
0 Komentar