google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Kemitraan Semu di Balik Layar Aplikasi: Eksploitasi Pekerja Gig dalam Industri Transportasi Online Indonesia

Kemitraan Semu di Balik Layar Aplikasi: Eksploitasi Pekerja Gig dalam Industri Transportasi Online Indonesia

 


Baca Juga : Memahami Kenapa Ojek Online Kerap Demo 5 Bulan belakangan ini, di sini

Industri transportasi dan kurir online di Indonesia, yang dimotori oleh nama-nama besar seperti Gojek, Grab, Maxim, dan Shopee Ekspress, telah merevolusi mobilitas dan pengiriman barang. Namun, di balik kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan, terdapat sebuah ironi pahit: relasi "kemitraan" yang dijalin antara perusahaan platform dan para pengemudi ojek online (ojol) cenderung bersifat semu dan eksploitatif. Alih-alih menciptakan ruang kerja yang fleksibel dan menguntungkan, model kemitraan ini justru menjebak para pekerja gig dalam hubungan kerja yang rentan dan tidak setara. Artikel ini akan mengupas secara kritis fenomena "kemitraan semu" ini, dengan bertumpu pada temuan penelitian dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada, serta berlandaskan pada regulasi yang berlaku di Indonesia.

Premis utama dari argumen ini adalah bahwa relasi yang diklaim sebagai "kemitraan" sebenarnya merupakan bentuk baru dari hubungan kerja buruh-pengusaha yang disamarkan. Para ojol, yang secara formal diposisikan sebagai mitra, tidak memiliki hak-hak yang lazimnya melekat pada status tersebut. Mereka tidak mendapatkan jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, maupun jam kerja yang layak. Sebaliknya, status "mitra" justru menjadi justifikasi bagi perusahaan platform untuk melepaskan tanggung jawab sebagai pemberi kerja, memaksimalkan keuntungan, dan meminimalkan biaya tenaga kerja.

Penelitian IGPA UGM, yang mewawancarai 290 ojol di berbagai kota besar, menggarisbawahi empat aspek utama yang menegaskan kepalsuan "kemitraan" ini. Pertama, perusahaan platform memiliki kendali penuh atas pengambilan keputusan penting dalam proses kerja. Para ojol tidak memiliki ruang untuk bernegosiasi atau menyuarakan pendapat mereka terkait penentuan tarif, sanksi, bonus, algoritma, dan mekanisme kerja lainnya. Keputusan-keputusan ini diambil secara sepihak oleh perusahaan, menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang signifikan.

Kedua, perusahaan platform secara aktif mengontrol proses kerja para ojol layaknya hubungan buruh-pengusaha di industri manufaktur. Klaim tentang kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan waktu kerja menjadi hampa ketika perusahaan menggunakan berbagai instrumen, seperti sanksi, penilaian konsumen, dan bonus, untuk mendisiplinkan dan memacu para ojol agar bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih disiplin. Penilaian konsumen, yang seringkali subjektif dan tidak terverifikasi, dapat berujung pada sanksi seperti "sepi order" atau bahkan pemutusan mitra, tanpa memberikan kesempatan bagi ojol untuk membela diri.

Ketiga, perusahaan platform memonopoli akses informasi dan data. Data yang dikumpulkan dari aktivitas para ojol, yang seharusnya menjadi aset bersama dalam hubungan kemitraan, dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan. Para ojol, bahkan peneliti dan pemerintah, tidak memiliki akses untuk memahami bagaimana data ini diolah dan digunakan dalam sistem algoritma yang memengaruhi penghasilan dan peluang kerja mereka. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas ini menciptakan ketidakadilan dan memungkinkan perusahaan untuk memanipulasi sistem demi keuntungan mereka sendiri.

Keempat, praktik kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan UU tersebut yang mengatur tentang kemitraan. Prinsip-prinsip kemitraan yang menekankan saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, tidak tercermin dalam hubungan yang terjadi antara perusahaan platform dan para ojol. Ketidaksetaraan kedudukan dan dominasi perusahaan platform menciptakan perjanjian yang tidak seimbang, di mana hak dan kewajiban tidak didistribusikan secara adil. Akibatnya, kebijakan yang berkaitan dengan tarif, bonus, potongan, dan sanksi seringkali merugikan para ojol dan menguntungkan perusahaan platform.

Implikasi dari "kemitraan semu" ini sangatlah serius. Para ojol terjebak dalam lingkaran eksploitasi, bekerja dalam kondisi yang tidak pasti, dengan penghasilan yang rendah dan tanpa jaminan sosial. Mereka kehilangan hak-hak dasar sebagai pekerja, sementara perusahaan platform menikmati keuntungan yang besar dengan memanfaatkan tenaga kerja mereka. Kondisi ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip keadilan sosial, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakstabilan dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang tegas dan komprehensif untuk mengatasi masalah "kemitraan semu" ini. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap industri transportasi dan kurir online, memastikan bahwa para ojol mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja. Perlu ada definisi yang jelas tentang hubungan kerja dalam ekonomi gig, yang tidak memungkinkan perusahaan platform untuk menyamarkan hubungan buruh-pengusaha sebagai "kemitraan". Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan data dan algoritma juga harus ditingkatkan, memberikan akses dan kendali yang lebih besar kepada para ojol. Selain itu, perlindungan terhadap hak-hak pekerja gig perlu diperkuat melalui pembentukan serikat pekerja atau organisasi yang dapat mewakili kepentingan mereka dalam bernegosiasi dengan perusahaan platform.

Singkatnya, "kemitraan semu" di industri transportasi dan kurir online Indonesia merupakan fenomena yang merugikan para pekerja gig dan melanggar prinsip-prinsip keadilan sosial. Dengan memahami akar permasalahan dan menerapkan solusi yang tepat, kita dapat menciptakan model kerja yang lebih adil, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Hanya dengan begitu, industri transportasi dan kurir online dapat berkontribusi secara positif terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

 

Bidang Advokasi FSP FARKES-R

Breakdown isu dari pembahasan Tim Labour Law Reform-Sistem Kemitraaan Semu GIG economy.

 

Posting Komentar

0 Komentar