Wejangan Abadi Sang Bapak Pers: Ketika Eyang Tirto Ngasih Wejangan Ke Tim Media FSP FARKES-R



Wejangan Abadi Sang Bapak Pers: Sebuah Dialog Imajiner untuk Perjuangan Buruh di Era Digital

Di sebuah ruang teduh yang seolah tak tersentuh waktu, aroma kopi tubruk berpadu dengan bau kertas-kertas tua. Di sanalah Pak Sidodadi dan Rama Jaka Kustika dari Bidang Media FSP FARKES REFORMASI duduk berhadapan dengan sosok yang mereka kagumi hanya dari buku-buku sejarah: Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Sosoknya tenang, sorot matanya tajam menembus zaman, seolah ia baru saja meletakkan penanya setelah menulis tajuk rencana untuk Medan Prijaji.

"Jadi, Tuan-tuan berdua ini adalah juru warta dari kaum buruh di zaman yang katanya serba cepat?" Tirto membuka percakapan, suaranya berat dan berwibawa.

Sidodadi, yang lebih senior, mengangguk hormat. "Benar, Eyang Tirto. Kami datang karena merasa gagap. Informasi begitu melimpah, perhatian orang begitu mudah teralihkan. Suara kami, suara buruh, seringkali tenggelam dalam kebisingan media sosial. Kami ingin belajar dari Eyang, bagaimana kekuatan pena bisa membangkitkan kesadaran, seperti yang Eyang lakukan dulu."

Tirto tersenyum tipis, lalu menyesap kopinya. "Medan perang kita mungkin berbeda, tapi senjatanya tetap sama: cerita yang menyentuh nurani. Kalian jangan keliru, Tuan-tuan. Dulu, saya tidak sekadar menulis bahwa rakyat Hindia menderita. Itu fakta dingin yang mudah dilupakan. Saya menuliskan bagaimana mereka menderita."

"Saya kisahkan tentang petani di Lebak yang punggungnya melengkung karena memikul hasil bumi untuk para pejabat kompeni, sementara anaknya kelaparan di rumah. Saya tuliskan rintihan para kuli kontrak di Deli yang cambuk mandor terasa lebih perih daripada sengat matahari. Saya tidak menjual angka atau statistik, saya menjual rasa sakit, kemarahan, dan harapan yang terampas. Tulisan itu harus menjadi cermin bagi pembaca, agar mereka melihat ketidakadilan itu menimpa saudara sebangsanya, dan bisa saja menimpa diri mereka sendiri."

Rama, yang lebih muda dan memegang gawai di tangannya, menyela dengan sopan. "Kami mengerti, Eyang. Tapi bagaimana menerjemahkannya ke zaman sekarang? Isu kami kompleks: kerja prekariat, gig economy, upah yang tak layak, bahkan kini ada isu perubahan iklim dan just transition."

Tirto meletakkan cangkirnya. Matanya berkilat, seolah melihat medan juang yang baru.

"Bagus! Itu artinya penderitaan rakyat hanya berganti rupa. Maka, inilah peta jalan yang bisa kalian tempuh. Dengarkan baik-baik."

Peta Jalan Publikasi Media Gerakan Buruh ala Tirto Adhi Soerjo

Langkah Pertama: Identifikasi "Luka Zaman" dan Beri Nama yang Menggugah

"Kalian menyebutnya 'kerja prekariat' atau 'gig economy'. Itu istilah kaum terpelajar. Rakyat biasa tidak merasakannya. Kalian harus memberinya nama yang lebih menusuk. Sebutlah 'Perbudakan Digital' atau 'Kerja Rodi Gaya Baru'. Gunakan istilah yang membangkitkan memori kolektif tentang penindasan."

"Jangan hanya bicara soal algoritma yang tidak adil. Ceritakan tentang seorang pengemudi ojek online, sebut saja namanya Budi. Kisahkan bagaimana ia menatap layar gawainya berjam-jam di pinggir jalan, menanti orderan yang tak kunjung datang, sementara di rumah anaknya butuh susu. Buat pembaca merasakan kecemasan Budi setiap kali notifikasi berbunyi, dan kekecewaannya saat itu bukan orderan. Itulah cultuurstelsel zaman kalian: kerja keras tanpa kepastian hasil."

Langkah Kedua: Personifikasi Perjuangan, Ciptakan Pahlawan Keseharian

"Jangan tampilkan buruh sebagai korban yang pasrah. Tampilkan mereka sebagai pejuang. Dulu, saya mengangkat kisah para priyayi yang tercerahkan dan berani melawan. Sekarang, angkatlah kisah seorang buruh pabrik perempuan yang berani mengorganisir kawan-kawannya untuk menuntut hak cuti haid. Ceritakan tentang seorang pekerja kontrak yang diam-diam belajar hukum perburuhan di malam hari untuk melawan PHK sepihak."

"Jadikan mereka simbol. Kisah mereka adalah amunisi. Satu kisah inspiratif lebih kuat dari seratus rilis pers yang kaku. Publik harus melihat wajah di balik angka statistik, melihat denyut nadi di balik setiap tuntutan."

Langkah Ketiga: Bangun Narasi Besar yang Menghubungkan Semua Titik

"Ini yang paling penting," kata Tirto, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Jangan biarkan isu-isu itu berdiri sendiri. Kalian harus merangkainya menjadi sebuah narasi besar. Hubungkan titik-titiknya."

"Begini caranya: Kisah Budi si 'budak digital' tadi, terhubung dengan kisah buruh pabrik garmen yang di-PHK karena pabriknya beralih ke mesin. Keduanya adalah korban dari sistem ekonomi yang memuja efisiensi di atas kemanusiaan. Lalu, hubungkan lagi dengan isu yang lebih besar."

"Kalian bicara soal perubahan iklim dan just transition? Sempurna! Ceritakan bagaimana pabrik yang sama, yang mem-PHK buruhnya, juga membuang limbah ke sungai tempat anak-anak Budi bermain. Maka, perjuangan menuntut upah layak adalah perjuangan untuk udara bersih. Perjuangan melawan PHK sepihak adalah perjuangan untuk transisi yang berkeadilan, di mana peralihan ke energi hijau tidak boleh mengorbankan buruh menjadi tumbal."

"Narasi besarnya adalah: Kesejahteraan Buruh adalah Kesejahteraan Bumi. Keadilan untuk Pekerja adalah Keadilan untuk Masa Depan. Dengan begitu, kalian tidak hanya bicara pada buruh, tapi juga pada aktivis lingkungan, mahasiswa, dan kelas menengah yang peduli pada masa depan anak-anaknya."

Langkah Keempat: Kuasai Medan Perang Digital dengan Konsistensi

"Dulu, saya hanya punya koran. Kalian punya puluhan 'koran' di genggaman kalian. Gunakan semuanya, tapi dengan strategi."

  • Media Sosial (TikTok, Instagram): Gunakan untuk 'tusukan' cepat. Video pendek satu menit tentang wajah lelah Budi, kutipan kuat dari buruh perempuan yang berani melawan. Tujuannya bukan penjelasan mendalam, tapi membangkitkan empati dan kemarahan dalam sekejap.
  • Situs Web/Blog Serikat: Ini adalah Medan Prijaji kalian. Di sinilah kalian muat tulisan-tulisan mendalam. Analisis kebijakan, investigasi kondisi pabrik, dan kisah-kisah pahlawan keseharian tadi secara utuh. Ini untuk membangun kredibilitas dan pemahaman.
  • Podcast: Ini adalah mimbar kalian. Undang buruh untuk bercerita langsung. Biarkan publik mendengar suara mereka yang bergetar karena marah, atau tawa mereka yang penuh harapan. Suara manusia punya kekuatan yang tak bisa ditandingi tulisan. Ini untuk membangun koneksi emosional.

"Dan yang terpenting," Tirto menekankan, "adalah konsistensi. Terbitkan tulisan setiap hari, setiap minggu. Seperti air yang menetes terus-menerus di atas batu, lambat laun batu sekeras apa pun akan berlubang. Teruslah bercerita, teruslah mengabarkan, jangan biarkan api ini padam."

Sidodadi dan Rama terdiam, meresapi setiap kata. Wajah mereka yang semula bingung kini memancarkan pencerahan. Mereka tidak lagi melihat tumpukan isu yang rumit, melainkan sebuah jalinan cerita perjuangan yang siap untuk dikisahkan.

"Pena kalian, atau 'keyboard' seperti yang kalian sebut," Tirto menutup wejangannya sambil tersenyum, "adalah alat untuk membuka mata mereka yang tertidur, menyatukan mereka yang tercerai-berai, dan memberikan suara pada mereka yang dibungkam. Dulu musuh saya adalah kebodohan dan kekuasaan kolonial. Musuh kalian adalah apatisme dan ketidakadilan yang dibungkus kemajuan zaman. Tugas kalian sama dengan tugas saya: menulis kebenaran, segetir apa pun rasanya, hingga fajar keadilan itu terbit."

Sosok Tirto Adhi Soerjo perlahan memudar, meninggalkan aroma kopi dan semangat yang membara di dalam dada Sidodadi dan Rama. Mereka kini tahu, perjuangan di era digital bukanlah tentang algoritma atau jumlah penonton, melainkan tentang menemukan kembali kekuatan paling purba dari sebuah pergerakan: kekuatan cerita yang mampu mengubah dunia.

Jakarta 06 September 2025

Disarikan dari Notulensi Rapat Kontributor Media FSP FARKES-R


 

Posting Komentar

0 Komentar