google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Dialog Imajiner Seandainya H. Fakhrudin Bangkit dan bahas yang lagi vibes-wacana penghapusan oustourcing 2025

Dialog Imajiner Seandainya H. Fakhrudin Bangkit dan bahas yang lagi vibes-wacana penghapusan oustourcing 2025

 




Serial Dialog Imajiner dengan Tokoh Buruh Zaman Old

Haji Fachruddin – “Jurnalis Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional Indonesia”


Setting: Sebuah kedai kopi ramai di Jakarta Pusat. Getaran ponsel, suara barrista, dan obrolan bahasa modern mengelilingi dua orang yang terpaut seabad lebih.

Para Pihak:

  1. Kyai Haji Fakhrudin: Tokoh Muhammadiyah, kritikus keras kuli kontrak, pembela kaum lemah dari era Hindia Belanda. Berpakaian sederhana, sorot matanya penuh kearifan dan ketegasan.

  2. Rizal: Jurnalis muda, idealis, sedikit skeptis dengan sejarah namun terbuka pada perspektif baru.


(Adegan dimulai. Rizal baru saja selesai memaparkan ringkasan isu outsourcing, kerentanan pekerja, dan tuntutan penghapusannya oleh serikat buruh.)

Rizal: ...jadi, Kyai, situasinya kurang lebih begitu. Banyak buruh yang merasa hak-hak mereka terabaikan, masa depan tidak jelas, karena statusnya outsourcing. Perusahaan utama merasa diuntungkan, tapi para pekerja merasa tercekik.

Kyai Fakhrudin: (Meneguk kopi perlahan, pandangannya menerawang ke luar jendela yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit) Outsourcing, kau bilang? Perantara... majikan utama lepas tangan... pekerja jadi rentan... nasibnya digantungkan pada 'kontrak' yang bisa kapan saja diputus...

(Kyai Fakhrudin meletakkan cangkirnya. Ada gejolak di matanya.)

Kyai Fakhrudin: Rizal, anak muda... (beliau menyebut Rizal dengan sebutan yang terasa akrab namun berjarak) Aku seperti mendengar gema yang sangat menyakitkan dari masa lalu. Gema yang pernah membuat dadaku sesak, membuat Muhammadiyah kala itu tidak bisa diam. Gema yang bernama... Kuli Kontrak.

Rizal: Kuli Kontrak? Yang di perkebunan-perkebunan besar itu, Kyai? Yang katanya... seperti perbudakan?

Kyai Fakhrudin: Persis! (Nadanya sedikit meninggi, gairah lamanya bangkit) Itulah sebutan yang sering kuberi. 'Sistem Perbudakan Gaya Baru!' Mereka datang dari Jawa, dari daerah lain, dijanjikan kehidupan lebih baik di tanah Deli yang konon makmur. Tapi apa yang mereka dapat? Belenggu!

(Melalui "kemampuan AI crawling informasi", Kyai Fakhrudin seolah mengakses data sejarah yang terekam.)

Kyai Fakhrudin: Mereka diikat oleh yang namanya Poenale Sanctie. Tahu apa itu? Itu pasal hukum pidana, dibuat Belanda khusus untuk para kuli ini! Jika mereka lari dari kebun, mangkir, atau bahkan sekadar membantah mandor, mereka bisa ditangkap polisi, dipukul, bahkan dipenjara! Hanya karena melanggar 'kontrak kerja'!

Rizal: Ya Tuhan... itu jauh lebih kejam dari masalah outsourcing hari ini...

Kyai Fakhrudin: Kejam dalam bentuk fisik, ya. Tapi inti penindasannya, Rizal, polanya sama! Ada majikan besar – dulu juragan kebun, sekarang perusahaan-perusahaan raksasa itu. Ada perantara – dulu agen perekrut, sekarang perusahaan outsourcing itu. Dan ada pekerja yang dibuat rentan, terpisah dari majikan yang sebenarnya, dengan ikatan 'kontrak' yang membuat mereka mudah diperas dan dibuang!

(Kyai Fakhrudin bersandar, menarik napas dalam.)

Kyai Fakhrudin: Dulu, kami di Muhammadiyah tidak bisa tinggal diam melihat derita itu. Kami melihatnya sebagai kezaliman yang nyata, bertentangan dengan ajaran agama kita tentang keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan terhadap kaum lemah. Kami tidak punya serikat buruh seperti yang kau ceritakan hari ini. Tapi kami punya majelis, punya panggung, punya suara.

Rizal: Apa yang Kyai dan Muhammadiyah lakukan waktu itu?

Kyai Fakhrudin: Kami bersuara! Lewat pengajian, lewat tulisan di media massa perjuangan kala itu. Kusampaikan di mana-mana bahwa sistem kuli kontrak itu tidak berperikemanusiaan! Itu merendahkan martabat manusia ciptaan Allah! Kami membongkar kebohongan janji-janji manis para agen perekrut, kami ceritakan realita pahit di kebun-kebun sana.

Poenale Sanctie-Bertuah Pos


(Kyai Fakhrudin mengepalkan tangannya perlahan.)

Kyai Fakhrudin: Kami membangun kesadaran! Bahwa penderitaan itu bukan takdir, melainkan buatan manusia yang serakah! Bahwa kontrak yang zalim itu tidak sah di mata kemanusiaan dan agama! Kami berusaha memberikan pendidikan, agar para kuli ini tidak mudah dibodohi, agar mereka tahu hak-hak dasar mereka sebagai manusia.

Rizal: Jadi, intinya, Kyai melawan sistem yang memisahkan pekerja dari tanggung jawab majikan utama, dan menggunakan 'kontrak' sebagai alat kontrol dan eksploitasi?

Kyai Fakhrudin: Tepat sekali, Rizal! Itulah benang merahnya! Dulu namanya kuli kontrak dengan Poenale Sanctie, sekarang namanya outsourcing dengan kerentanan status kerja. Modus operandinya berubah, tapi niatnya sama: mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya tenaga kerja, menjadikan manusia sekadar faktor produksi yang bisa dipakai-buang, tanpa terikat kewajiban selayaknya majikan kepada pegawainya.

Rizal: Tapi, Kyai... pihak yang pro outsourcing bilang ini efisien, bikin perusahaan lincah, membuka lapangan kerja...

Kyai Fakhrudin: (Tersenyum miris) Efisiensi? Lincah? Lapangan kerja? Mereka juga punya dalihnya dulu! Kebun butuh banyak pekerja, kontrak itu demi kepastian kerja, agar kuli tidak lari sembarangan. Dalih ekonomi selalu di depan, Rizal, untuk menutupi hilangnya kemanusiaan dan keadilan di belakang!

gambar buruh kontrak perkebunan zaman hindia belanda


(Kyai Fakhrudin mencondongkan tubuh ke depan.)

Kyai Fakhrudin: Pertanyaan mendasarnya adalah: atas nama 'efisiensi' atau 'kelincahan' itu, bolehkah kita menihilkan hak-hak dasar manusia? Membuat mereka tidak punya kepastian masa depan, tidak bisa berkeluarga dengan tenang, tidak punya jaminan kesehatan dan hari tua yang layak seperti pekerja yang 'penuh'? Dulu, kami melihat kontrak itu sebagai 'akad' yang tidak sah karena mengandung unsur penindasan. Sekarang, 'kontrak outsourcing' itu... apakah menjamin keadilan bagi semua pihak?

Rizal: (Mencatat cepat) Kyai melihat outsourcing ini sebagai bentuk baru dari penindasan yang pernah Kyai lawan ya?

Kyai Fakhrudin: Begitulah pandanganku. Bentuknya modern, kemasannya rapi, tapi ruhnya... ruh penindasan yang sama.Membuat buruh menjadi rentan, mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan bisnis, tanpa akar yang kuat pada perusahaan tempat ia mencurahkan tenaga. Mirip sekali dengan kuli-kuli di Deli yang nasibnya di ujung tanduk kontrak dan ancaman Poenale Sanctie.

Rizal: Lalu, apa saran Kyai untuk perjuangan buruh hari ini dalam menghadapi isu outsourcing?

Kyai Fakhrudin: Pertama, kenali musuhnya. Bukan sekadar perusahaan outsourcing atau perusahaan pengguna, tapi sistem yang memungkinkan penindasan berbalut 'efisiensi' ini. Kedua, sadarkan para pekerja itu sendiri! Seperti kuli dulu yang harus sadar bahwa mereka ditipu dan ditindas, buruh hari ini harus sadar akan hak-hak mereka, status mereka yang rentan, dan pentingnya persatuan.

(Kyai Fakhrudin menatap Rizal dengan tajam.)

Kyai Fakhrudin: Ketiga, bersatulah! Dulu, Muhammadiyah dan organisasi pergerakan lain menjadi wadah perjuangan. Hari ini, ada serikat buruh, ada organisasi masyarakat sipil. Gunakan wadah-wadah itu untuk menekan, untuk berdialog, untuk menuntut perubahan kebijakan. Suara satu orang mudah dipatahkan, suara ribuan orang... (beliau tersenyum tipis) ...itu yang ditakuti penguasa dan para pemilik modal.

Rizal: Berarti perjuangan ini... masih sama intinya dengan perjuangan Kyai dulu?

Kyai Fakhrudin: Intinya sama: Keadilan dan Kemanusiaan bagi Kaum Pekerja! Dulu, kami berjuang membebaskan mereka dari belenggu Poenale Sanctie dan kontrak zalim. Hari ini, juanglah membebaskan mereka dari belenggu ketidakpastian kerja dan kontrak outsourcing yang tidak adil. Ajaran agama, nilai-nilai kemanusiaan, itu landasannya. Jangan pernah lelah untuk membela yang lemah dan tertindas, dalam bentuk apapun penindasan itu muncul di setiap zaman. Muhammadiyah, dengan ruh pembaharuan sosialnya, harus terus relevan dalam isu-isu seperti ini. Pendidikan penting, kesehatan penting, tapi membela hak-hak pekerja dari kezaliman ekonomi juga adalah ibadah!

(Tiba-tiba, suasana di sekitar Kyai Fakhrudin terasa sedikit bergetar. Cahaya di sekelilingnya seperti sedikit memudar.)

Rizal: Kyai...?

Kyai Fakhrudin: (Tersenyum tipis, sorot matanya kembali menerawang, seolah ditarik kembali oleh waktu) Waktuku di sini... sepertinya sudah cukup. Sampaikan pada kawan-kawan buruhmu, pada aktivis itu, pada siapa pun yang peduli: perjuangan untuk martabat pekerja adalah perjuangan abadi. Jangan padamkan semangat itu. Dari kuli kontrak di kebun Deli hingga buruh outsourcing di pabrik modern, jeritan mereka adalah seruan keadilan yang harus dijawab.

(Siluet Kyai Fakhrudin semakin memudar, menyatu dengan keramaian kedai kopi, seolah beliau hanyalah bayangan dari masa lalu yang datang memberi pelajaran. Rizal terdiam, perekam di tangannya bergetar. Kata-kata Kyai Fakhrudin terngiang jelas: Kuli Kontrak... Outsourcing... Pola Penindasan yang Sama... Keadilan dan Kemanusiaan!)
Kesimpulan (Refleksi Jurnalis Rizal)

Percakapan singkat itu terasa seperti kilat sejarah yang menyambar kesadaran saya. Gagasan H. Fakhrudin, tokoh Muhammadiyah yang gigih melawan kuli kontrak, bukan hanya catatan kaki dalam sejarah perburuhan kita. Pemikirannya tentang betapa zalimnya sistem yang memisahkan pekerja dari tanggung jawab majikan utama demi keuntungan, betapa 'kontrak' bisa menjadi alat penindasan jika tidak berlandaskan keadilan, ternyata sangat relevan dengan polemik outsourcing saat ini.

Melalui "kemampuan AI crawling informasi" yang entah bagaimana diakses Kyai Fakhrudin, beliau memaparkan detail Poenale Sanctie dan penderitaan kuli kontrak dengan gamblang, lalu dengan telak menarik garis lurus ke isu outsourcing. Keduanya menciptakan kerentanan, ketidakpastian, dan posisi tawar yang lemah bagi pekerja. Keduanya memungkinkan perusahaan besar untuk menikmati tenaga kerja tanpa menanggung beban dan kewajiban selayaknya seorang majikan penuh.

Warisan H. Fakhrudin dan Muhammadiyah dalam isu ini bukanlah sekadar membantu yang miskin, tetapi secara fundamental mengkritik dan melawan sistem yang menciptakan kemiskinan dan ketidakadilan. Perjuangan penghapusan outsourcing hari ini, dalam pandangan Kyai Fakhrudin, adalah babak baru dari perjuangan melawan 'perbudakan gaya baru' yang bentuknya berevolusi seiring zaman. Semangat kesadaran, persatuan, dan pembelaan berdasarkan nilai kemanusiaan dan keadilan adalah kunci yang dia wariskan, melintasi batas waktu. Perjuangan untuk martabat buruh ternyata memang perjuangan abadi.

Cover Buku koleksi Departemen P&K (Pendidikan dan Kebudayaan)

Ilyas Husein (dari berbagai sumber)


Posting Komentar

0 Komentar