![]() |
Ah, Tapera... Tiba-tiba saja muncul lagi ke permukaan. Rasanya baru kemarin topik ini ramai dibicarakan, kritikan bertebaran, meme-meme lucu dan satir membanjiri linimasa. Lalu mereda, tenggelam dalam hiruk pikuk isu lain yang lebih mendesak , lebih viral . Tapi ya sudahlah, namanya juga Indonesia. Semuanya serba cepat berubah, dari tren kopi kekinian sampai kebijakan pemerintah.
Yang ini, Tapera, terasa agak berbeda. Bukan sekadar tren saat ini. Ini soal duit, soal masa depan, soal rumah impian yang entah kapan bisa terwujud. Mendengar kata "wajib" saja sudah bikin alis berkerut. Berapa gaji lagi? Serius? Di tengah himpitan perekonomian yang belum sepenuhnya pulih? Kayak lagi lari maraton, terus tiba-tiba ada yang narik kaus dari belakang. Berat, Bos.
Pikir punya pikir, kenapa ya banyak yang menolak? Bukan berarti orang Indonesia anti menabung, kan? Justru sebaliknya, banyak yang mati-matian menyisihkan uang, mikir investasi sana-sini. Mungkin masalahnya ada di rasa percaya. Atau jangan-jangan pengalaman masa lalu yang kurang mengenakkan soal pengelolaan dana masyarakat. Dulu ada ASABRI, ada Jiwasraya... Trauma itu nyata bung.
Terus kepikiran soal negara kesejahteraan negara-negara itu. Yang di Skandinavia sana, misalnya. Kok bisa ya mereka punya sistem jaminan sosial yang kuat? Rumah terjangkau, pendidikan gratis, layanan kesehatan terjamin. Enak banget kayaknya jadi warga negara di sana. Apa rahasianya? Apakah cuma soal duitnya yang banyak? Atau ada hal lain yang lebih mendasar?
"Ternyata, welfare state (dalam implementasinya penguasa) di Indonesia lebih mirip 'welfare bait'—hanya untuk memancing harapan, tapi ujung-ujungnya kita tetap nganggur di pinggir jalan."
Mulai deh otak ini searching sendiri, membanding-bandingkan. Di sana, jaminan sosial itu kayak payung besar, melindungi semua warganya dari berbagai risiko kehidupan. Dari lahir sampai meninggal, negara hadir. Nah, kalau di kita? Kayaknya masih tambal sulam. BPJS Kesehatan lumayan membantu, meski masih ada celah di sana-sini. BPJS Ketenagakerjaan juga, tapi ya... Tapera ini posisinya di mana ya?
Bukannya mau pesimis, tapi kok rasanya Tapera ini kayak solusi yang "maksa". Kayak kita dipaksa membeli barang yang sebenarnya belum tentu kita butuhkan, atau kita yakin kualitasnya. Mungkin pemerintah punya niat baik, pengen membantu rakyat punya rumah. Tapi caranya ini, lho... Kurang lancar , kurang meyakinkan.
Coba deh kita lihat datanya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023, persentase rumah tangga yang memiliki rumah sendiri adalah sekitar 82,72%. Artinya, masih ada sekitar 17,28% rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri. Angka ini memang besar, dan ini adalah masalah yang perlu diatasi. Tapi, apakah Tapera adalah jawaban satu-satunya?
Lalu, kalau kita kaitkan dengan sistem jaminan sosial di negara kesejahteraan , perbedaannya cukup signifikan. Di negara-negara seperti Swedia, Norwegia, atau Denmark, sistem jaminan sosial itu terintegrasi dan universal. Artinya, semua warga negara mendapatkan perlindungan sosial yang komprehensif, tanpa memandang status pekerjaan atau tingkat pendapatan. Dana yang dikelola pun biasanya berasal dari pajak progresif, dimana mereka yang mempunyai investasi lebih tinggi memberikan kontribusi lebih besar.
Ini sekedar contoh biar bro dan sis nambah wawasan, buruh juga harus kaya literasi dong.
Sumber Teori:
Konsep negara kesejahteraan sendiri berakar pada pemikiran tokoh-tokoh seperti TH Marshall dengan teorinya tentang kewarganegaraan yang mencakup hak sipil, politik, dan sosial. Hak sosial inilah yang menjadi landasan bagi negara untuk memberikan perlindungan sosial kepada warganya. Selain itu, teori Richard Titmuss tentang berbagai model negara kesejahteraan (residual, industrialachievement-kinerja, dan institusional redistributif) juga relevan untuk memahami perbedaan pendekatan dalam penyelenggaraan jaminan sosial.
Pendapat Ahli:
Dr. (Ekonomi) Faisal Basri , misalnya, seringkali mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dinilainya kurang berpihak pada masyarakat kecil. Beliau menyoroti soal beban tambahan yang ditanggung pekerja akibat potongan gaji Tapera, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti.
Selain itu, Prof. (Sosiologi) Imam B. Prasodjo menyoroti dari sudut pandang persetujuan Tapera ini sebagai cerminan kurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga pengelola dana masyarakat.
Kembali ke Tapera. Bukan berarti ide menabung untuk perumahan itu jelek. Bagus sekali. Tapi, mungkin pendekatannya perlu diubah. Mestinya, pemerintah fokus dulu membenahi sistem jaminan sosial yang sudah ada. Transaksi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan benar-benar efektif dan efisien. Menciptakan lapangan kerja yang layak dengan upah yang manusiawi, sehingga masyarakat mempunyai daya beli untuk menabung sendiri.
Kalau negara kesejahteraan bisa, kenapa kita tidak? Mungkin memerlukan proses yang panjang, perubahan paradigma, dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Bukan sekedar soal duit, tapi juga soal keadilan sosial, pemerataan, dan rasa aman bagi warga seluruh negara.
Mungkin, alih-alih memaksakan Tapera, pemerintah bisa belajar dari negara lain. Melihat bagaimana mereka membangun sistem jaminan sosial yang kokoh, yang didukung oleh kepercayaan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Bukan sistem yang tiba-tiba muncul, tanpa sosialisasi yang memadai, dan malah menimbulkan polemik berkepanjangan.
Intinya, penolakan terhadap Tapera ini bukan sekadar soal potongan gaji. Ini merupakan sinyal dari masyarakat bahwa mereka menginginkan sistem jaminan sosial yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih adil. Sebuah sistem yang benar-benar melindungi mereka, bukan malah bersantai. Semoga saja para pembuat kebijakan bisa mendengar aspirasi ini. Karena pada akhirnya, tujuan kita semua sama: membangun Indonesia yang lebih sejahtera untuk seluruh rakyatnya. Bukan begitu?
"Ketika kita bicara tentang welfare state di Indonesia dalam implementasi penguasa,
rasanya seperti menunggu hujan di musim kemarau—semakin ditunggu, semakin
kering!"
#PekerjaMudaBeropini #PekerjaMudaBerdialektika #BanggaBerserikat
0 Komentar