![]() |
Jagad maya dalam beberapa hari ini di ramaikan dengan berita soal penambahan usia pensiun menjadi 59 Tahun, berita tersebut mendapat beragam respon dari stake holder terkait ketenaga kerjaan, Presiden Aspirasi Mirah Sumirat mengatakan penetapan usia pensiun menjadi 59 tahun mulai 1 Januari 2025 dikhawatirkan berpengaruh pada produktivitas, terutama bagi pekerja yang mengandalkan fisik. Mirah juga mempertanyakan nasib pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK sebelum memasuki usia pensiun
.Sementara itu Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno menilai, aturan baru usia pensiun ini menjadi tambahan beban yang bagi pekerja yang mencapai usia senja. Apalagi, kebijakan ini tidak diimbangi dengan perhatian pengusaha dan pemerintah kepada buruh usia lanjut di Indonesia. Misalnya dari segi tanggung jawab pengusaha atas asupan makanan bergizi, fasilitas transportasi, pengurangan beban kerja agar lebih ringan.
"Karena pekerja usia senja memiliki kerentanan dan resiko lebih fatal dibanding dengan usia muda," kata Sunarno dalam keterangan resmi, Kamis kepada media kontan.co.id (9/1).
sementara praktisi dan aktivis pengawas bpjs watch Timboel siregar dalam statemennya menyoroti soal masa tunggu pekerja yang telah memenuhi kriteria usia pensiun (pihak yang berhak menerima manfaat dana pensiun) yang merugikan bagi pekerja.
Dari sudut pandang akademisi Pengamat Ekonomi dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, ikut menanggapi soal pertambahan usia pensiun menjadi 59 tahun. Kenaikan usia pensiun tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Pasal 15 ayat (3) PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun. Menurut Achmad, kebijakan ini merupakan kebijakan yang baik namun harus disikapi dengan hati-hati. Alasannya, tingkat kesejahteraan usia produktif di Indonesia masih rendah.
“Memperpanjang usia pensiun berarti pekerja lanjut usia harus tetap berada di dunia kerja dalam waktu yang lebih lama. Meski ini dapat memberikan tambahan waktu untuk menabung bagi masa pensiun, tidak semua pekerja mampu mempertahankan produktivitas pada usia yang semakin lanjut,” ucap Achmad saat dihubungi pada Rabu, 8 Januari 2025. di kesempatan yang berbeda Bos APINDO Shinta kamdani menilai dampak utama kenaikan usia pensiun adalah masa tunggu pencairan manfaat jaminan pensiun akan lebih lama. Khususnya bagi perusahaan yang menerapkan usia pensiun di bawah 59 tahun. "Di mana pekerja perlu menunggu pencairan manfaat masa pensiun hingga masuk batas usia tersebut," kata Shinta melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan-Reformasi, Evi Krisnawati memberikan tanggapannya, menurutnya bahwa kebijakan ini harus di lihat dari overview yang komprehensif, diatas kertas kebijakan ini terlihat sangat baik dikarenakan memberikan masa lebih panjang bagi pekerja untuk berkontribusi secara produktif, akan tetapi terukurnya sebuah kebijakan dapat dikategorikan sebuah kebijakan publik yang baik , apabila Tujuan yang jelas, tujuan menjadi unsur pertama dari suatu kebijakan. Akan tetapi, tidak semua kebijakan mempunyai uraian yang sama mengenai pencapaian tujuannya. Perbedaannya terdapat pada jangka waktu pencapaian tujuan, posisi, gambaran, orientasi, dan dukungannya. Kriteria tujuan yang baik adalah:
• Diinginkan untuk dicapai.
• Rasional atau realistis.
• Jelas. Berorientasi ke depan.
Dalam konteks kebijakan soal usia penambahan usia pensiun ini kan malah cenderung membingungkan dalam pengimplementasian dan tendensinya merugikan bagi pekerja di usia senja yang membutuh dana pencairan manfaat dari uang yang setiap bulan di potong dari upahnya. dalam hal ini posisi kami bersama semua elemen serikat pekerja yang juga mengkhawatirkan ini menjadi polemik dalam pengimplementasiannya.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama Rita Hendratiningsih aktivis perempuan yang pernah menduduki jabatan hubungan internasional di FSP FARKES Reformasi, dan saat ini menjadi ketua bidang pendidikan, menyoroti bahwa respons terhadap kebijakan kenaikan usia pensiun ini berbeda-beda di setiap negara.
Di Singapura, misalnya, keputusan tersebut mendapat dukungan dari para pekerja senior. Sebuah survei menunjukkan bahwa hampir 88% dari 1.471 responden berusia 50 tahun ke atas mendukung peningkatan usia pensiun menjadi 63 tahun ke atas, dan sekitar 80% mendukung usia bekerja kembali di usia 68 tahun ke atas.Namun banyak pula yang menentang.
Contohnya, di Prancis, pengesahan undang-undang pensiun memicu protes dari masyarakat dan serikat pekerja karena kurangnya suara di parlemen dalam proses tersebut. Karena pekerja yang lebih tua dapat tetap bekerja lebih lama, banyak penduduk yang menyuarakan keprihatinan atas semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, terutama di negara-negara dengan tingkat pengangguran yang tinggi.
Rita menjelaskan, survei dari OECD menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja mulai menurun secara signifikan setelah usia 55 tahun, terutama di sektor yang membutuhkan tenaga fisik. Selain itu, dari BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat sekitar 30 persen pekerja lansia melaporkan mengalami penurunan kinerja akibat masalah kesehatan. pungkas aktivis wanita yang juga concern atas isu hak pekerja perempuan.
Sementara itu Bidang Advokasi FSP FARKES-Reformasi Iwan Kurniawan menyoroti analisa nya dari perspektif hukum, Marzalina sebagai staff Advokasi bidang Perjanjian kerja bersama, menitik beratkan analisanya dari penerapan norma kerja yang harus sesuai dengan porsi Undang-Undang ketenaga kerjaan kekhawatiran mengenai kondisi kesehatan pekerja lansia, jam kerja yang tidak fleksibel, keterampilan yang telah usang, dan kurangnya peluang kerja karena lansia kembali bekerja.
Oleh karena itu, kebijakan penambahan usia pensiun harus didukung oleh peningkatan kapasitas, peraturan keselamatan dan kesehatan, insentif yang tepat, dan kebijakan yang tidak diskriminatif. dan kesemuanya harus tertuang secara konkret dalam PP atau PKB pungkasnya. Kebijakan yang dikeluarkan beberapa hari lalu malah terkesan ambigu penerapan kebijakan apabila dalam peraturan perusahaan atau Perjanjian kerja bersama (PKB) aturan soal usia yang di sepekati di bawah usia 59 tahun tadi, yang di rugikan ada hak pekerja menggunakan manfaat dari dana pensiunnya.
Menurut Ketua Bidang Advokasi Pak Iwan Kurniawan, pria yang telah beberapa periode aktif menjadi praktisi di divisi Advokasi FSP FARKES Reformasi, menyatakan dalam isu soal penambahan usia pensiun dalam perspektif hukum ketenaga kerjaan kita harus terlebih dahulu menarik sudut pandang kita kepada filsafat hukum ketenaga kerjaan kita, yaitu Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyatakan bahwa :
Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak
. Rumusan ini merupakan payung hukum utama bagi urusan ketenagakerjaan di Indonesia. Nah dalam pasal itu bermakna bahwa implikasinya Negara harus hadir memberikan perlindungan hukum, memastikan pelaksanaan hukum yang berkeadilan, serta juga mampu memberikan jaminan sosial bagi para pekerja, hal ini selaras dengan konsep welfare state,
Dimana pointnya. Negara hadir melalui kebijakannya memberikan layanan untuk kesejahteraan warga negara, seperti pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, dan kecelakaan kerja
Masih menurutnya pernah ada upaya uji materil .Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 154 huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Rabu (26/08/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Eko Sumantri dan Sarwono selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia. Pada persidangan, Eko Sumantri (pemohon) menjelaskan Bahwa Pasal a quo, menimbulkan multi tafsir dalam menentukan usia pensiun bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan, dimana pengusaha dapat menafsirkan usia pensiun pekerja/buruh tersebut sesuai dengan keinginan dan kehendak dari pengusaha itu sendiri. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan batasan usia pensiun yang termaktub di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan.
Pokok permasalahannya bukan pada sekedar penetapan usia pensiun, jauh lebih mendalam seharusnya pada titik tolak keseriusan pemerintah untuk hadir dalam penegakan aturan soal jaminan sosial. Undang-undang No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional maka menjadikan Indonesia condong dalam arah penerapan konservatif-institutionalist welfare state. Hal tersebut menyiratkan bahwa Indonesia melalui Pemerintah akan menyelenggarakan program jaminan sosial yang berlaku untuk seluruh warga negara melalui berbagai macam kebijakan yang ada bagi kalangan masyarakat yang dinilai kurang mampu.
Memang dapat dilihat bahwa secara konstitusional maka indonesia menganut welfare state. Namun, jika dilihat secara realita di lapangan maka makna kesejahteraan sesungguhnya sesuai dengan konsep awal welfare state semakin bias. Pasalnya, dari seluruh Undang-undang maupun pasal yang ada di Indonesia tak jarang hanya sebatas aturan tertulis yang tidak diimplementasikan secara penuh. Disinilah tanggung jawab serta peran negara dituntut untuk menciptakan negara sejahtera atau welfare state, pungkasnya menutup wawancara kami dengan pengurus-pengurus di FSP FARKES-Reformasi, di kantor DPP di Pondok Kopi.
0 Komentar