Serial Opini Sepekan ADVOKASI FSP FARKES-R, 01 Juni 2025--Data resmi yang dirilis oleh institusi pemerintah seringkali disajikan sebagai indikator capaian dan kemajuan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis data hingga April 2025 terkait Struktur Skala Upah, Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan hasil pengawasan. Data ini menawarkan gambaran sekilas tentang kepatuhan normatif perusahaan di Indonesia. Namun, ketika data ini dikomparasikan dengan realitas di lapangan, terutama terkait sulitnya buruh mengakses keadilan, muncul narasi yang kontradiktif, menggarisbawahi jurang pemisah antara angka di atas kertas dan pengalaman hidup kaum buruh.
Statistik itu seperti bikini. Apa yang diungkapkannya bersifat sugestif, tetapi apa yang disembunyikannya sangat penting."
Menurut data Kemnaker, hingga April 2025, tercatat 69.738 perusahaan melaporkan memiliki Struktur Skala Upah, 46.618 perusahaan memiliki PP, dan 16.011 perusahaan memiliki PKB di aplikasi WLKP. Angka-angka ini, pada pandangan pertama, mungkin terlihat substansial. Namun, konteksnya berubah drastis ketika kita melihat total jumlah perusahaan yang terdaftar di WLKP mencapai 3.091.001. apalagi bila di komparasikan dengan data Per 16 Agustus 2024 pukul 15.00 WIB, jumlah NIB (Nomor induk Berusaha), yang diterbitkan menembus 10.000.019 dengan komposisi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) sebanyak 9.909.900 NIB, usaha menengah sebanyak 28.303 NIB, dan usaha besar sebanyak 61.816 NIB. sumber
Data Ini secara telanjang menunjukkan fakta, kurang dari 2,3% perusahaan yang terdaftar melaporkan memiliki Struktur Skala Upah, kurang dari 1,5% melaporkan memiliki PP, dan bahkan kurang dari 0,5% yang melaporkan memiliki PKB. Angka-angka ini secara fakta menunjukkan bahwa mayoritas mutlak perusahaan di Indonesia tidak terdata memiliki instrumen fundamental dalam tata kelola hubungan industrial yang adil dan transparan.
Struktur Skala Upah seharusnya memberikan kepastian dan keadilan dalam pengupahan, PP mengatur hak dan kewajiban di tingkat perusahaan, sementara PKB – sebagai produk negosiasi bilateral buruh dan pengusaha – merupakan puncak dari dialog sosial dan perlindungan hak buruh yang paling komprehensif. Rendahnya angka kepemilikan instrumen-instrumen ini, terutama PKB yang sangat minim, mengindikasikan bahwa hanya segelintir kecil buruh yang bekerja di lingkungan yang memiliki kerangka normatif internal yang jelas dan disepakati.
Data juga mencatat bahwa perusahaan menengah dan jenis usaha perdagangan mendominasi kepemilikan Struktur Skala Upah dan PP, sementara PKB lebih banyak di perusahaan besar dan industri pengolahan. Ini menyoroti kesenjangan perlindungan normatif antar sektor dan skala perusahaan. Buruh di perusahaan mikro dan kecil, yang jumlahnya sangat mayoritas, kemungkinan besar berhadapan dengan hubungan kerja yang minim aturan formal tertulis, apalagi yang disepakati melalui negosiasi seperti PKB.
Di sisi lain, data pengawasan ketenagakerjaan hingga Triwulan III 2024 mencatat 9.302 perusahaan melanggar norma ketenagakerjaan. Angka ini membuktikan bahwa pelanggaran memang terjadi dan terdeteksi. Namun, jumlah perusahaan yang melanggar ini relatif kecil dibandingkan total perusahaan terdaftar maupun dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang tidak melaporkan kepemilikan PP atau Struktur Skala Upah. Ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah pengawasan kita cukup menjangkau jutaan perusahaan lainnya, terutama yang kecil dan mikro, di mana pelanggaran kemungkinan lebih masif dan tersembunyi? Apakah 9.302 pelanggaran ini hanya puncak gunung es?
Kesenjangan antara data dan realitas sulitnya buruh mengakses keadilan tampak jelas. Data Kemnaker menggambarkan lanskap normatif yang idealnya ada atau sebagian kecil yang terlaporkan, sementara di lapangan, buruh dihadapkan pada berbagai tantangan:
Ketidakpastian Normatif: Minimnya PP, PKB, dan Struktur Skala Upah di mayoritas perusahaan membuat hubungan kerja seringkali diatur secara sepihak oleh pengusaha, rentan terhadap keputusan yang merugikan buruh tanpa dasar yang jelas.
Kurangnya Kesadaran dan Akses Informasi: Bahkan jika instrumen normatif ada, buruh seringkali tidak mengetahui isinya atau sulit mengakses dokumen tersebut, melemahkan posisi mereka dalam menegakkan hak.
Kelemahan Posisi Tawar: Tanpa serikat pekerja yang kuat atau PKB, posisi tawar buruh sangat lemah. Upaya menegakkan hak atau menuntut keadilan seringkali berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Keterbatasan Pengawasan: Meskipun ada inspeksi, keterbatasan jumlah pengawas, luasnya wilayah, dan kompleksitas kasus membuat banyak pelanggaran luput dari pantauan. Proses penegakan hukum setelah pelanggaran terdeteksi pun seringkali panjang, mahal, dan hasilnya tidak selalu memuaskan bagi buruh.
Biaya dan Akses ke Jalur Hukum/Penyelesaian Sengketa: Mengurus perselisihan hubungan industrial membutuhkan waktu, biaya, dan pengetahuan hukum yang seringkali tidak dimiliki buruh. Proses mediasi, konsiliasi, arbitrase, hingga pengadilan industrial menjadi beban yang berat.
Data Kemnaker, meskipun penting sebagai catatan administratif, secara ironis justru menyoroti betapa rapuhnya fondasi normatif hubungan industrial di sebagian besar perusahaan di Indonesia. Angka-angka ketersediaan Struktur Skala Upah, PP, dan PKB yang sangat rendah, ditambah dengan jumlah pelanggaran yang terdeteksi (yang mungkin jauh lebih kecil dari realitas), menunjukkan bahwa mekanisme pelaporan dan pengawasan yang ada masih jauh dari kata efektif dalam memastikan kepatuhan dan, yang lebih penting, dalam menjamin buruh dapat mengakses keadilan secara mudah dan pasti. Keadilan bagi buruh tidak hanya berhenti pada adanya aturan di atas kertas atau terdeteksinya pelanggaran, melainkan pada kemudahan dan kepastian bagi setiap buruh untuk menegakkan hak-hak mereka tanpa rasa takut dan dengan hasil yang adil ketika terjadi perselisihan. Data yang ada saat ini belum mampu merefleksikan atau menjembatani jurang yang dalam menuju realitas ideal tersebut.
0 Komentar