google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Gelombang PHK, Nasib Tenaga Kerja Indonesia dalam Pusaran Perubahan Struktur Ekonomi

Gelombang PHK, Nasib Tenaga Kerja Indonesia dalam Pusaran Perubahan Struktur Ekonomi

 





Metafora opini : Gelombang PHK yang menimpa pekerja Indonesia ibarat air pasang yang tiba-tiba dan dahsyat menarik diri dari pantai, meninggalkan mereka yang tadinya aman dan terkubur di dalam pasir, menjadi terekspos dan rentan.



Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada fenomena yang kompleks: gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Lebih dari sekadar angka statistik yang fluktuatif, kondisi ini mencerminkan tantangan fundamental dalam struktur ekonomi nasional dan berdampak pada nasib jutaan tenaga kerja Indonesia. Situasi ini mendesak untuk dianalisis secara mendalam, bukan hanya untuk memahami alasannya, tetapi juga untuk merumuskan strategi adaptasi ke depan.

Laporan mengenai PHK terus bermunculan dari berbagai industri, mulai dari manufaktur karya padat hingga sektor teknologi yang sebelumnya dianggap kebal. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan maupun sumber-sumber lain seperti BPJS Ketenagakerjaan seringkali hanya menangkap sebagian dari gambaran besar, sementara data konsolidasi yang komprehensif dan terkini seringkali menjadi tantangan tersendiri dalam melacak skala sebenarnya dari fenomena ini di seluruh Indonesia. Namun indikasi dari laporan serikat pekerja, media, dan pengamatan di lapangan cukup kuat untuk menunjukkan adanya tekanan signifikan terhadap pasar kerja.

Untuk memahami akar permasalahan ini, penting untuk melihatnya dalam konteks perubahan struktural ekonomi. Teori transformasi struktural Simon Kuznets (1955) menjelaskan bahwa, seiring pertumbuhan ekonomi suatu negara, terjadi pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian tradisional ke sektor industri, dan kemudian ke sektor jasa yang lebih maju. Proses ini, idealnya, merupakan tanda kemajuan, di mana produktivitas meningkat dan standar hidup membaik.

Namun, Kuznets juga menggarisbawahi bahwa transisi ini memerlukan fondasi sistem dan kebijakan yang kuat. Tanpa kesiapan yang memadai – baik dari sisi regulasi, pengembangan sumber daya manusia, maupun infrastruktur pendukung – proses pergeseran tersebut dapat menghasilkan 'dislokasi sosial'. Inilah yang tampaknya sedang terjadi di Indonesia. Sektor industri, khususnya yang mengandalkan teknologi atau model bisnis lama, menghadapi tekanan berat dari persaingan global, perubahan teknologi, dan pergeseran permintaan. Ibarat tubuh yang sedang bertransformasi, sektor industri kita seperti "kehilangan napas".

Sementara itu, sektor jasa – yang meliputi digital, keuangan, logistik modern, dan layanan profesional – memang menunjukkan pertumbuhan. Namun, sektor ini "masih menyempurnakan paru-parunya". Artinya, kapasitasnya untuk menyerap tenaga kerja dalam skala besar dan dengan kualifikasi yang beragam belum sepenuhnya matang. Kebutuhan keterampilan di sektor jasa seringkali berbeda jauh dengan keterampilan yang dominan di sektor industri atau pertanian. Akibatnya, terjadi ketidakcocokan (mismatch) antara ketersediaan lapangan kerja, jenis pekerjaan yang hilang, dan kualifikasi tenaga kerja yang ada.

Dislokasi inilah yang memunculkan gelombang PHK. Pekerja yang terampil di sektor industri manufaktur, misalnya, mungkin kesulitan menemukan pekerjaan baru yang setara di sektor jasa yang sedang berkembang pesat, yang mungkin menuntut kemampuan digital atau komunikasi yang berbeda. Bagi banyak pekerja, PHK bukan hanya kehilangan pendapatan, tetapi juga berdampak terhadap identitas dan stabilitas sosial mereka. Hal ini berpotensi meningkatkan jumlah kemiskinan, memperluas sektor informal dengan pekerjaan yang kurang stabil dan terlindungi, serta memperlebar ketimpangan ekonomi.

Situasi ini ibarat "bom waktu" bagi stabilitas sosial dan ekonomi nasional. Jika tidak ditangani secara komprehensif, akumulasi pengangguran dan pengangguran bagi jutaan pekerja dapat menimbulkan bencana. Pertanyaan "Quo Vadis Pekerja Indonesia?" – ke mana perginya nasib mereka? – menjadi sangat relevan dan mendesak untuk dijawab oleh para pemangku kepentingan, terutama pemerintah.

Dalam konteks politik dan kebijakan, gelombang PHK ini menuntut respons yang multidimensi. Pertama, diperlukan sistem data ketenagakerjaan yang jauh lebih akurat dan real-time untuk memetakan skala permasalahan dan merancang intervensi yang tepat sasaran. Kedua, kebijakan harus fokus pada program reskilling dan upskilling yang masif dan adaptif, menghubungkan tenaga kerja terdampak dengan kebutuhan skill di sektor-sektor pertumbuhannya ekonomi baru.

Ketiga, penguatan jaring pengaman sosial menjadi krusial untuk memberikan perlindungan minimum bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Keempat, pemerintah perlu memastikan bahwa transisi ekonomi ini berjalan secara adil ('transisi yang adil'), di mana kebijakan tidak hanya mendukung sektor baru, tetapi juga mempertimbangkan cara untuk memodernisasi atau memberikan insentif bagi sektor yang tertekan agar dapat beradaptasi, atau setidaknya memfasilitasi kepindahan pekerjanya secara manusiawi.

Menghadapi gelombang PHK di tengah perubahan struktur ekonomi adalah tantangan besar bagi Indonesia. Ini bukan hanya isu ekonomi, tetapi juga isu politik dan sosial yang mendalam. Nasib tenaga kerja Indonesia di masa depan sangat bergantung pada seberapa cepat dan efektif pemerintah, bersama pelaku industri, serikat pekerja, dan masyarakat, dapat merancang dan mengimplementasikan kebijakan transisi yang strategis, adaptif, dan berpihak pada kesejahteraan dan perlindungan pekerja. Kegagalan dalam mengelola dislokasi ini dapat menghambat potensi kemajuan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.


Ilyas Husein, 17-05-2025



Posting Komentar

0 Komentar