Mei dalam kalender Buruh, adalah Bulan yang seringkali kelabu dalam ingatan gerakan buruh Indonesia, namun sekaligus membara oleh nyala api pemberontakan yang tak pernah padam: api dari kematian tragis seorang buruh muda bernama Marsinah.
Bara di Bulan Mei
Mei 1993. Lebih dari tiga dekade telah berlalu, namun nama Marsinah tetap terukir kuat dalam sanubari gerakan buruh Indonesia. Ia bukanlah sekadar statistik, bukan pula catatan kaki dalam sejarah kelam Orde Baru. Marsinah adalah simbol. Simbol keberanian di tengah represi, simbol perlawanan terhadap penindasan, dan ironisnya, simbol kebrutalan yang siap ditimpakan pada mereka yang berani bersuara demi hak-hak dasar. Kematiannya yang misterius dan biadab setelah memimpin aksi mogok menuntut upah layak, menjadi katalis, bara yang dilemparkan ke dalam jerami perlawanan buruh yang saat itu terbungkam.
Di tahun 2025 ini, saat kita kembali memperingati tahun kepergiannya, refleksi atas perjuangan Marsinah tidak boleh berhenti pada sekadar mengenang tragedi. Peringatan ini harus menjadi otokritik, kontemplasi mendalam, dan pemicu untuk merumuskan kembali strategi perjuangan buruh ke depan. Terutama di era di mana kapitalisme global bermetamorfosis kian rakus dan opresif, pertanyaan mendeskalasi: bagaimana api perjuangan Marsinah tetap menyala, dan bagaimana gerakan buruh—termasuk kami, Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES-R)—harus memiliki "nafas panjang" untuk menghadapinya?
Siapakah Marsinah? Nyala Pertama di Era Gelap
Untuk memahami signifikansi Marsinah, kita perlu menempatkannya dalam konteks zamannya. Marsinah hanyalah seorang buruh biasa di pabrik arloji PT. Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia hadir di era rezim otoriter Orde Baru yang dikenal represif terhadap gerakan buruh. Mogok kerja dianggap subversif, serikat buruh independen dilarang, dan kesejahteraan buruh kerap kali menjadi korban demi stabilitas ekonomi dan keuntungan investor.
Namun, Marsinah bukanlah buruh biasa dalam artian keberaniannya. Ketika rekan-rekannya diancam PHK setelah melakukan mogok menuntut kenaikan upah sesuai SK Gubernur dan ingin membentuk serikat pekerja independen, Marsinah tampil sebagai garda depan. Ia aktif dalam negosiasi, gigih menyuarakan tuntutan buruh, dan menolak menandatangani surat pemutusan hubungan kerja yang menindas. Perjuangannya adalah perjuangan klasik buruh: menuntut hak dasar, upah yang layak untuk hidup, kondisi kerja yang manusiawi, dan kebebasan berserikat. Itulah nyala api pertama yang ia pancarkan di tengah kegelapan represi.
Kematian yang Menjadi Bara: Suluh Perjuangan Abadi
Tragedi itu terjadi pada Mei 1993. Setelah aktif dalam aksi mogok dan negosiasi, Marsinah tiba-tiba menghilang pada tanggal 5 Mei. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan, menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat. Kematiannya bukan sekadar pembunuhan biasa; ia adalah pesan brutal bagi siapa pun yang berani menantang kekuasaan pengusaha yang berkolusi dengan aparatur negara pada saat itu.
Namun, alih-alih memadamkan semangat perlawanan, kematian Marsinah justru menyulut bara yang lebih besar. Kasus pembunuhan yang ditangani secara tidak transparan, dengan pelaku yang ditangkap dan kemudian dibebaskan dalam proses hukum yang penuh rekayasa, semakin memperkuat simbolisme Marsinah. Ia menjadi martir buruh, simbol ketidakadilan yang dihadapi pekerja, dan pengingat abadi bahwa perjuangan untuk hak dasar bisa berujung pada nyawa. Kematiannya menggugah kesadaran yang lebih luas, menjadi inspirasi bagi gerakan buruh dan aktivis pro-demokrasi lainnya di masa-masa sulit menjelang Reformasi. Api perjuangan itu, yang dipicu oleh kematiannya, tidak pernah padam. Ia terus membara dalam setiap aksi buruh, setiap tuntutan hak, dan setiap upaya untuk membangun serikat yang kuat dan independen.
Bara Itu Masih Menyala, Bentuknya Berbeda
Memasuki tahun 2025, wajah perjuangan buruh telah berubah, namun semangat Marsinah tetap relevan. Era Reformasi memang membawa kebebasan berserikat, namun tantangan yang dihadapi buruh justru semakin kompleks. Kapitalisme kini tidak lagi sekadar berwajah lokal, melainkan global dan terhubung. Perusahaan multinasional beroperasi lintas batas, rantai pasok global menciptakan eksploitasi di berbagai titik, dan kemajuan teknologi justru seringkali digunakan untuk menekan upah, menciptakan model kerja prekaritas (kontrak, outsourcing, gig economy), dan melemahkan kekuatan tawar buruh.
Dalam konteks ini, peringatan kematian Marsinah di tahun 2025 menjadi momen kritis untuk merefleksikan bahwa api perjuangan yang ia nyalakan harus terus menyala, meski bentuk tantangannya berbeda. Dulu, musuh utamanya adalah pengusaha lokal represif yang didukung rezim otoriter. Kini, kita berhadapan dengan kekuatan kapital global yang anonim, lincah berpindah, dan menggunakan berbagai instrumen—mulai dari hukum, teknologi, hingga disinformasi—untuk memaksimalkan keuntungan dengan menekan biaya tenaga kerja. Bara api Marsinah mengingatkan kita bahwa ketidakadilan masih eksis, penindasan masih terjadi, dan perjuangan untuk hak-hak buruh masih jauh dari selesai.
Nafas Panjang Perjuangan: Strategi Melawan Monster Kapital Global
Menghadapi "naga" kapitalisme global yang terus tumbuh dan bermetamorfosis, gerakan buruh tidak bisa lagi hanya mengandalkan "nafas pendek" perjuangan—aksi mogok sporadis, unjuk rasa reaktif, atau negosiasi sesaat. Diperlukan "nafas panjang," sebuah strategi perjuangan yang berkelanjutan, adaptif, dan terencana matang.
Apa makna "nafas panjang" dalam konteks ini?
Pengorganisasian yang Konsisten dan Luas: Tidak hanya di level pabrik atau perusahaan, tetapi membangun kekuatan di seluruh sektor, melibatkan berbagai jenis pekerja (termasuk pekerja digital dan prekaritas), dan memperluas jangkauan hingga ke komunitas.
Pendidikan dan Peningkatan Kesadaran: Memberdayakan buruh dengan pengetahuan tentang hak-hak mereka, seluk-beluk hukum ketenagakerjaan, dinamika ekonomi global, dan pentingnya solidaritas. Ini adalah investasi jangka panjang dalam kapasitas perlawanan buruh itu sendiri.
Advokasi Kebijakan yang Strategis: Melobi dan mendesak perubahan kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang pro buruh, melindungi hak-hak, dan menciptakan lingkungan kerja yang adil. Ini membutuhkan riset mendalam dan kemampuan berdialog dengan berbagai pemangku kepentingan.
Solidaritas Lintas Sektor dan Lintas Negara: Menyadari bahwa kapital global menindas buruh di berbagai sektor dan negara, sehingga diperlukan solidaritas untuk saling mendukung, berbagi pengalaman, dan membangun kekuatan tawar kolektif di tingkat global.
Adaptasi terhadap Bentuk Kerja Baru: Mengembangkan strategi pengorganisasian dan perjuangan yang relevan dengan model kerja baru yang diciptakan oleh kapitalisme digital dan prekaritas, seperti pekerja lepas, pekerja kontrak, atau pekerja di platform digital.
Memiliki "nafas panjang" berarti siap untuk pertempuran maraton, bukan sprint. Ini berarti membangun fondasi yang kokoh, merawat anggota, merencanakan langkah jauh ke depan, dan tidak mudah menyerah meskipun menghadapi kekalahan sementara.
FSP FARKES-R: Memompa 'Nafas Panjang' di Sektor Esensial
Sebagai bagian dari gerakan buruh, FSP FARKES-R (Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi) memiliki peran unik dalam mempraktikkan konsep "nafas panjang" ini, terutama di sektor yang sangat esensial: kesehatan dan farmasi. Sektor ini seringkali dianggap "kebal" dari konflik industri karena menyangkut layanan publik dan kemanusiaan. Namun, di balik citra tersebut, pekerja di sektor kesehatan dan farmasi—mulai dari perawat, tenaga medis, apoteker, teknisi laboratorium, hingga staf administrasi rumah sakit dan pekerja pabrik farmasi—juga menghadapi berbagai tantangan perburuhan yang diakibatkan oleh logika kapitalisme.
Pembahasan tentang "nafas panjang" sangat relevan bagi FSP FARKES-R karena tantangan spesifik di sektor ini:
Tekanan Kerja Tinggi & Upah Rendah: Pekerja kesehatan seringkali menghadapi jam kerja panjang, risiko kesehatan, namun masih banyak yang menerima upah minimum atau di bawah kelayakan, terutama di fasilitas swasta atau daerah.
Prekaritas di Sektor Kesehatan: Banyak rumah sakit atau perusahaan farmasi menggunakan sistem kontrak, outsourcing, atau bahkan relawan "sukarela" yang sebenarnya bekerja penuh waktu tanpa jaminan sosial dan kepastian kerja yang layak.
Privatisasi dan Komersialisasi: Semakin menguatnya logika profit dalam layanan kesehatan dan industri farmasi menempatkan pekerja dalam posisi sulit, seringkali diminta memprioritaskan keuntungan ketimbang kesejahteraan atau bahkan kualitas layanan.
Anti-Serikat di Institusi Medis: Masih ada resistensi kuat dari manajemen rumah sakit, klinik, atau perusahaan farmasi terhadap pembentukan serikat pekerja, menganggapnya mengganggu stabilitas atau profesionalisme.
Dalam konteks ini, FSP FARKES-R memompa "nafas panjang" melalui:
Pengorganisasian yang Persisten: Membangun dan merawat serikat di berbagai fasilitas kesehatan dan pabrik farmasi, seringkali di tengah lingkungan yang tidak ramah serikat.
Edukasi Anggota: Memberikan pemahaman kepada tenaga kesehatan dan farmasi tentang hak-hak perburuhan mereka, pentingnya berserikat, dan bagaimana logika kapitalisme juga memengaruhi sektor mereka.
Advokasi untuk Kebijakan Pro-Pekerja Kesehatan/Farmasi: Mendorong regulasi yang melindungi jam kerja, memberikan upah layak, menjamin keselamatan kerja, dan memastikan kepastian kerja bagi para pekerja di sektor ini.
Solidaritas Internal dan Eksternal: Membangun kekuatan bersama antar berbagai jenis pekerja di sektor kesehatan/farmasi, dan juga berjejaring dengan serikat buruh dari sektor lain untuk memperkuat gerakan buruh secara keseluruhan.
Bagi FSP FARKES-R, api Marsinah adalah pengingat bahwa perjuangan untuk upah layak, kepastian kerja, dan hak berserikat tidak mengenal sektor. Kematiannya menginspirasi komitmen jangka panjang untuk terus berjuang, memompa "nafas panjang" organisasi, menghadapi tantangan spesifik di sektor kesehatan dan farmasi, sembari tetap terhubung dengan perjuangan buruh secara umum melawan cengkeraman kapitalisme global.
Suluh Api Perjuangan Marsinah dalam Setiap Langkah Panjang Kami
Di tahun 2025 ini, api yang dinyalakan oleh keberanian dan kematian Marsinah masih membara. Ia bukan hanya nyala duka, melainkan nyala semangat yang terus menginspirasi. Sejarah perjuangan Marsinah mengingatkan kita bahwa hak-hak buruh tidak diberikan, melainkan direbut melalui perjuangan. Namun, realitas kapitalisme global yang kian kompleks menuntut lebih dari sekadar keberanian sesaat. Ia menuntut daya tahan, strategi matang, dan yang terpenting, "nafas panjang."
Bagi FSP FARKES-R, api Marsinah adalah kompas moral dan pemicu strategis. Ia mengingatkan kita bahwa perjuangan di sektor kesehatan dan farmasi, meskipun unik, adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan buruh melawan logika eksploitasi kapitalisme. Kami tidak bisa hanya melakukan protes atau negosiasi ad-hoc. Kami harus membangun organisasi dengan daya tahan maraton, mendidik dan memberdayakan anggota secara berkelanjutan, serta merumuskan strategi yang mampu beradaptasi dengan wajah baru penindasan.
Mengenang Marsinah di tahun 2025 berarti merawat api perjuangannya dalam setiap langkah panjang yang kami ambil: dalam setiap pertemuan serikat, setiap advokasi kebijakan, setiap upaya pengorganisasian di rumah sakit atau pabrik farmasi, dan setiap tindakan solidaritas. Api itu adalah warisan Marsinah. Nafas panjang adalah cara kami memastikan api itu tidak pernah padam, dan justru semakin membesar, menerangi jalan perjuangan buruh Indonesia menuju keadilan sejati, di tengah cengkeraman kapitalisme global.
Perjuangan Marsinah abadi, nafas panjang gerakan buruh adalah kuncinya.
0 Komentar