google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Pelajaran dari Pusaran Kepailitan Sritex: Refleksi untuk Keberlangsungan Bisnis dan Kesejahteraan Pekerja

Pelajaran dari Pusaran Kepailitan Sritex: Refleksi untuk Keberlangsungan Bisnis dan Kesejahteraan Pekerja

 

Cover story





Kasus pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa industri tekstil Indonesia, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menyertainya, menjadi pengingat pahit tentang kerapuhan bahkan perusahaan besar sekalipun. Kejadian ini bukan hanya pukulan telak bagi ribuan pekerja dan keluarga mereka, tetapi juga memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi dunia bisnis, pemerintah, dan masyarakat luas. Menganalisis akar masalah dan konsekuensi dari kepailitan Sritex akan membantu kita membangun ekosistem bisnis yang lebih tangguh dan bertanggung jawab di masa depan.



"Perjuangan buruh adalah perjuangan untuk martabat; solidaritas kita adalah jembatan menuju kebebasan dan keadilan yang sejati."


Salah satu pelajaran utama yang dapat dipetik adalah pentingnya manajemen keuangan dan risiko yang prudent. Sritex, yang dulunya menjadi simbol kejayaan industri tekstil, terjerat hutang dalam jumlah besar, sebagian besar dalam mata uang asing. Ketika nilai tukar rupiah melemah dan pandemi COVID-19 menghantam permintaan global, beban hutang ini menjadi sangat memberatkan. Kasus ini menyoroti betapa krusialnya kehati-hatian dalam mengambil pinjaman, terutama dalam mata uang asing, serta memiliki strategi lindung nilai (hedging) yang efektif untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar. Lebih dari itu, perusahaan perlu secara rutin melakukan stress test terhadap performa keuangan mereka dalam berbagai skenario ekonomi yang mungkin terjadi.



Pelajaran kedua terkait erat dengan kemampuan adaptasi dan inovasi dalam menghadapi perubahan pasar. Industri tekstil global sangat dinamis dan kompetitif. Perusahaan perlu terus berinvestasi dalam riset dan pengembangan, mengadopsi teknologi baru, dan berinovasi dalam produk dan layanan untuk tetap relevan. Pandemi COVID-19 menjadi katalisator perubahan yang dahsyat, memaksa banyak perusahaan untuk mengubah model bisnis dan beradaptasi dengan cepat. Kegagalan Sritex untuk melakukan adaptasi yang cukup cepat dan fleksibel terhadap perubahan permintaan pasar dan disrupsi rantai pasok juga menjadi faktor penting dalam kejatuhannya.



Ketiga, kasus Sritex menyoroti pentingnya tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG). Transparansi, akuntabilitas, dan independensi dalam pengambilan keputusan menjadi pilar utama GCG. Rumor dan dugaan mengenai praktik keuangan yang kurang transparan dan pengambilan keputusan yang kurang akuntabel di internal Sritex, meskipun belum terbukti secara hukum, semakin menguatkan urgensi penerapan GCG yang ketat. Investor dan pihak terkait lainnya perlu memiliki kepercayaan penuh terhadap integritas dan pengelolaan perusahaan.



Lebih dari sekadar aspek bisnis, kasus Sritex juga memberikan pelajaran berharga mengenai dampak sosial dan ekonomi dari PHK massal. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian mereka, menimbulkan dampak domino bagi keluarga dan komunitas sekitar. Hal ini menggarisbawahi perlunya mekanisme perlindungan sosial yang lebih kuat bagi pekerja yang terdampak PHK, seperti pelatihan keterampilan, bantuan mencari kerja, dan jaminan sosial yang memadai. Selain itu, pemerintah dan dunia usaha perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif sehingga perusahaan dapat tumbuh dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Pelajaran kelima adalah perlunya dukungan dan sinergi antara pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri, termasuk insentif dan regulasi yang tepat. Di sisi lain, dunia usaha perlu bersikap terbuka dan proaktif dalam berkomunikasi dengan pemerintah mengenai tantangan yang mereka hadapi. Kasus Sritex menunjukkan bahwa dialog dan kolaborasi yang efektif dapat membantu mengidentifikasi potensi masalah sejak dini dan mencari solusi bersama sebelum terlambat.



Terakhir, kasus Sritex mengingatkan kita akan siklus ekonomi yang tak terhindarkan. Tidak ada bisnis yang kebal terhadap fluktuasi ekonomi. Perusahaan perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi masa-masa sulit dengan membangun cadangan keuangan yang cukup, melakukan diversifikasi bisnis, dan mengelola risiko dengan bijak. Kegagalan untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri terhadap perubahan kondisi ekonomi dapat berakibat fatal, bahkan bagi perusahaan sebesar Sritex.


Kesimpulannya, kebangkrutan Sritex dan PHK massal yang menyertainya adalah tragedi yang membawa banyak pelajaran berharga. Dari pentingnya manajemen keuangan dan risiko yang prudent, kemampuan adaptasi dan inovasi, tata kelola perusahaan yang baik, perhatian terhadap dampak sosial PHK, hingga perlunya sinergi antara pemerintah dan dunia usaha, serta kesadaran akan siklus ekonomi. Semoga pelajaran pahit ini tidak sia-sia, melainkan menjadi momentum refleksi dan perbaikan bagi semua pemangku kepentingan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Dengan belajar dari kesalahan masa lalu, kita dapat membangun industri yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan memberikan kesejahteraan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.




Salam solidaritas dalam bingkai persamaan penderitaan dan dukungan kami sampaikan kepada semua elemen buruh yang sedang berjuang hari ini, salam persatuan, salam pembebasan.








Evi Krisnawati

Ketua Umum FSP Farkes-Reformasi

Jakarta 17 Januari 2025.


Design & Prompt : Ilyas Husein.



Posting Komentar

0 Komentar