google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Dari Jalanan ke Jenewa: Helm, Algoritma, Dan Keadilan yang Diperjuangkan di Konvensi Perburuhan Global ILO 2025

Dari Jalanan ke Jenewa: Helm, Algoritma, Dan Keadilan yang Diperjuangkan di Konvensi Perburuhan Global ILO 2025

Sidang Konvensi Buruh Internasional 2025, memenangkan Perlindungan Status Ojol


Perwakilan Para Delegasi Indonesia di ILC 113-ILO-2025


"Di atas motor tua dan algoritma yang tak pernah tidur, mereka menafkahi keluarga tanpa dianggap pekerja." Penggalan kalimat ini merangkum esensi ironi yang menghadap jutaan pengemudi ojek online (ojol) di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Status mereka yang mengambang—di satu sisi bekerja penuh waktu, di sisi lain hanya dianggap "mitra"—telah menjadi isu krusial yang kini menggema hingga ruang sidang Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss, pada tahun 2025.

Republik dan Mereka yang Tidak Tertulis

Di persimpangan jalan kota-kota besar, helm dan jaket identitas menjadi simbol kerja yang tak henti-hentinya. Jutaan jiwa menggantungkan hidup dari denyut algoritma aplikasi. Mereka disebut “mitra”, sebuah terminologi yang dalam analisis kritis bukan sekadar sebutan administratif, melainkan strategi hukum untuk mengeluarkan mereka dari jangkauan perlindungan ketenagakerjaan. Dalam logika Hans Kelsen, ini adalah upaya sistemik untuk memindahkan individu dari rantai norma formal, memindahkan beban dan risiko dari perusahaan ke posisi pundak individu yang rentan. Sebagai “mitra”, mereka kehilangan hak dasar pekerja: jam kerja layak, upah minimum, jaminan sosial, cuti, dan kepastian kerja. Mereka adalah 'buruh tak tertulis' dalam narasi besar ketenagakerjaan nasional.

Suara yang Diabaikan, Kini Didengar Dunia

Namun, dinamika global seringkali memaksa perubahan cara pandang. Pada ILC ke-113 yang dihadiri 187 negara anggota, platform digital tidak lagi dipandang semata-mata sebagai entitas teknologi, melainkan struktur kerja yang nyata dan kompleks. Kehadiran Indonesia dalam forum ini, pertemuan tripartit (pemerintah, pekerja/buruh, pengusaha), menjadi momen penting. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel), hadir di Jenewa, menekankan prioritas tiga isu kunci yang mencerminkan tantangan domestik dan kepedulian global. Salah satunya, yang paling relevan dengan realitas ojol, adalah pentingnya regulasi untuk pekerjaan layak dalam ekonomi berbasis platform digital. Dua isu lainnya adalah perlindungan terhadap bahaya biologi di tempat kerja dan transisi pekerja informal ke formal demi jaminan sosial yang lebih luas.

Kehadiran dan sikap proaktif Indonesia di Jenewa tidak hanya formalitas. Noel menyatakan komitmen pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia, membela hak-hak pekerja, membangun hubungan industrial yang harmonis, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas. “Kami ingin memastikan bahwa suara Indonesia didengar, dan standar yang dihasilkan relevan serta berpihak pada kemanusiaan dan keadilan sosial,” tegas Noel, mencerminkan kesadaran akan urgensi isu ini. Dukungan formal Indonesia terhadap pembentukan Konvensi ILO tentang Pekerja Digital, yang disampaikan Dirjen PHI & Jamsostek mewakili Menteri Ketenagakerjaan, pada 5 Juni 2025, menandai pengakuan negara atas eksistensi dan kebutuhan perlindungan bagi segmen pekerja yang selama ini terabaikan ini.

Kapitalisme Algoritmik: Kekuasaan Tanpa Wajah

Ekosistem kerja platform digital memperkenalkan bentuk kekuasaan baru: algoritma sebagai 'bos'. Aplikasi seperti GoPartner, GrabDriver, atau Maxim beroperasi layaknya panoptikon modern – melacak, mengukur, dan menghukum tanpa suara, seringkali tanpa penjelasan transparan. Pelanggan terhubung langsung dengan sistem, namun terputus dari pengontrol yang membayangkan manusia. Penghasilan dan kelangsungan kerja mereka bisa hilang hanya dengan satu klik sistem, menciptakan kehancuran ekstrem.

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep kekuasaan produktif Michel Foucault, di mana kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga membentuk perilaku dan rutinitas. Dalam platform kerja, setiap gerakan, jeda, atau bahkan ketiadaan data diubah menjadi informasi. Shoshana Zuboff menyebutnya sebagai pengawasan kapitalisme , di mana perilaku manusia dikomodifikasi. Pelanggan ojol tidak hanya menjual jasa transportasi, tetapi juga data yang mereka hasilkan, yang kemudian diolah dan dieksploitasi. Mereka diubah menjadi titik data dalam sebuah sistem yang nyaris tidak mengganggu regulasi tradisional.

Ketika Doa Menjadi Data

Sumber informasi tentang realitas kerja ojol selama ini lebih banyak berasal dari "obrolan antarhelm", keluhan di komunitas kecil, atau percakapan di grup WhatsApp – bentuk pengetahuan sosial yang jarang diakui sebagai dasar kebijakan formal. Namun, ILC 2025 menandai perubahan epistemologis. Yang semula dianggap "keluhan pinggiran" bertransformasi menjadi "data sosial" yang valid, menjadi dasar perumusan hukum global. Seperti Paulo Freire, kesadaran kritis dan semangat dimulai ketika mereka yang terpinggirkan bicara mulai dan narasi yang mereka akui. Pidato para pengemudi ojol, meskipun tak berpodium di Jenewa, adalah argumen kuat yang akhirnya diterima dunia.

Substansi Konvensi ILO: Fondasi Perubahan Dunia

Draf Konvensi ILO yang memuat poin-poin krusial yang berpotensi merevolusi perlindungan pekerja digital:

  • Definisi formal yang mengakui pekerja digital sebagai subjek hukum ketenagakerjaan yang sah.
  • Kewajiban negara untuk memberikan jaminan sosial dan akses BPJS bagi mereka.
  • Transparansi sistem algoritma dan perlindungan dari diskriminasi berbasis digital.
  • Pengakuan hak berserikat dan melakukan negosiasi kolektif.
  • Pembatasan selai kerja maksimal dan hak atas potong.

Wamenaker Noel menyebut proses ini sebagai “bukan hanya pencapaian diplomasi, tetapi kemenangan epistemik dan sosial. Bahwa suara-suara yang selama ini dianggap pinggiran telah menjadi dasar perumusan hukum global.”

Langkah ke Dalam Negeri: PR Republik

Pengakuan internasional, betapapun pentingnya, hanya akan bermakna jika diikuti dengan langkah-langkah legislasi dan implementasi nyata di tingkat nasional. Inilah PR besar Republik. Peta jalan yang perlu segera dibangun meliputi:

  1. Revisi peraturan ketenagakerjaan, khususnya pasal definisi “pekerja”, untuk secara eksplisit mencakup platform pekerja digital dan mengatur algoritma audit.
  2. Membentuk unit pengawasan khusus pekerja digital (Waskerdig) di bawah Kementerian Ketenagakerjaan.
  3. Platform Kewajiban untuk mendaftarkan dan membayar iuran BPJS (Kesehatan dan Ketenagakerjaan) serta memenuhi standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) digital.
  4. Fasilitasi ruang aduan, mediasi, dan forum negosiasi kolektif antara perwakilan pekerja platform dan perusahaan aplikasi.

Beberapa negara sudah lebih maju, seperti Spanyol dengan Ley Rider (2021), Portugal, dan India yang mulai mengintegrasikan platform pekerja ke dalam sistem jaminan sosial mereka. Uni Eropa pun sedang menyusun Platform Work Directive . Indonesia tidak boleh tertinggal. Para pekerja online berharap langkah nyata ini segera disegerakan.

Kerja Sebagai Ibadah, Bukan Statistik

Dalam berbagai kearifan lokal dan keyakinan agama, kerja memiliki dimensi spiritual dan kemanusiaan yang mendalam. Dalam Islam, kerja adalah bagian dari ibadah. Dalam Kristen, kerja adalah pelayanan. Dalam falsafah Jawa, kerja adalah harmoni. Ketika pengemudi ojol – yang berkeringat, waktu, dan doa mereka tercurah di jalan demi menafkahi keluarga – tidak dihormati secara hukum dan dilekatkan label "mitra" yang menghapus hak-hak dasar, bukan hanya keadilan sosial yang terluka, tetapi roh bangsa yang menghargai kerja ikut terkikis.

Kerja mereka bukan hanya tentang angka di layar aplikasi. Ia adalah narasi tentang harapan anak bisa bersekolah, tentang bagaimana gas cukup sampai malam, tentang kecemasan jika algoritma tiba-tiba mempengaruhi diam-diam mereka. Itu adalah kisah manusia, bukan sekedar statistik.

Visi Politik Baru Republik

Republik ini tidak hanya hidup dari suara elit, melainkan dari detak jantung mereka yang bekerja di jalanan, di ladang, di pabrik, di ruang digital, seringkali tanpa panggung. Pekerja digital bukanlah ancaman, melainkan mendorong bangsa baru yang perlu diasingkan, diakui, dan dilindungi.

Kini, Indonesia menghadapi pilihan historis: berani menulis ulang definisi "pekerja" dalam hukum nasional untuk mencakup realitas kerja digital, atau tetap tersembunyi jutaan pekerja digital di balik kata "mitra"? "Ketika kerja tidak dihormati, maka Republik kehilangan akarnya." Hari ini, akar itu adalah mereka yang mengenakan helm, berlari di jalan, dan berharap negara menyapa mereka kembali sebagai manusia yang utuh, bukan hanya barisan angka dalam laporan statistik. Jenewa 2025 adalah awal, implementasi di negeri adalah pembuktian.


 

Button Link CSS Baca Juga Liputan ILC 2025 KSBSI

Button Link CSS Liputan ILC 113-ILO-Koran Perdjoeangan

Button Link CSS Pekerja Platform Digital Diakui dalam Konvensi ILO-Koran Perdjoeangan

Posting Komentar

0 Komentar