Abstrak: Artikel ini menganalisis relevansi
filosofis dan etis dari perayaan Idul Adha, khususnya spirit pengorbanan dan
solidaritas, dengan perjuangan serikat buruh kontemporer. Melalui lensa
analisis politik sosial dan kajian terhadap ajaran Islam, artikel ini mengeksplorasi
bagaimana prinsip-prinsip Idul Adha dapat memberikan fundamen spiritual dan
etis bagi gerakan buruh dalam menuntut keadilan, hak-hak normatif, dan martabat
pekerja di tengah tantangan ekonomi dan politik global.
Merajut Makna Sakral dan Profan
Perayaan Idul Adha, dengan ritual puncaknya seperti Ibadah
Haji dan penyembelihan hewan Qurban, seringkali dimaknai dalam konteks
spiritual dan teologis personal. Namun, di balik dimensi sakral tersebut,
tersimpan "hikmah" mendalam yang memiliki implikasi signifikan bagi
tatanan sosial, ekonomi, dan bahkan politik sebuah masyarakat. Bagi para
peneliti, mengkaji Idul Adha bukan sekadar fenomena keagamaan, melainkan juga
sebuah prisma untuk memahami nilai-nilai yang berpotensi menggerakkan atau membentuk
kesadaran sosial, termasuk dalam konteks perjuangan kelas dan gerakan buruh.
Analisis ini bertujuan menelisik dialektika antara spirit pengorbanan di Idul
Adha dengan perjuangan kolektif serikat buruh.
Hikmah Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Implikasinya bagi
Gerakan Sosial
Inti dari Idul Adha adalah peringatan ketaatan Nabi Ibrahim
AS untuk mengorbankan putranya, Ismail AS, sebuah perintah yang kemudian
diganti dengan domba oleh Allah SWT. Narasi ini sarat makna pengorbanan
tertinggi demi ketaatan pada kebenaran dan keadilan Ilahi. Dari perspektif
analisis politik sosial, kisah ini dapat dibaca sebagai penolakan terhadap
status quo yang korup dan penindas (representasi "berhala" atau
kekuasaan tiranik seperti yang dihadapi Ibrahim dalam konteks melawan Raja Namrud).
Perjuangan serikat buruh, pada hakikatnya, juga menuntut
pengorbanan: pengorbanan waktu, energi, risiko finansial, bahkan potensi
represi dari pemilik modal atau negara. Seperti Ibrahim yang siap melepaskan
sesuatu yang paling berharga baginya demi prinsip yang lebih tinggi, buruh yang
berserikat seringkali harus mengorbankan kenyamanan individu demi
memperjuangkan hak-hak kolektif, kesejahteraan bersama, dan penciptaan sistem
kerja yang lebih adil. Qurban dalam konteks ini bukan hanya ritual pribadi, tetapi
manifestasi kesediaan berkorban untuk orang lain, sebuah resonansi
kuat dengan spirit solidaritas dalam gerakan buruh.
Solidaritas dan Pembagian Qurban: Fondasi Keadilan
Distribusi
Aspek lain yang sangat relevan dari Idul Adha adalah ritual
penyembelihan hewan Qurban dan distribusinya kepada fakir miskin, kerabat, dan
diri sendiri. Ini bukan sekadar aksi sosial, melainkan perwujudan prinsip
keadilan distributif dan solidaritas sosial dalam Islam.
Al-Qur'an secara eksplisit menekankan pentingnya berbagi dan
peduli terhadap kaum lemah:
- QS
An-Nisa [4]: 75: "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan
Allah dan (membela) orang yang lemah baik laki-laki, perempuan maupun
anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari
negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari
sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!’" Ayat ini
menggarisbawahi kewajiban membela kaum yang tertindas, sebuah prinsip yang
sangat relevan dengan advokasi serikat buruh terhadap pekerja yang
terpinggirkan atau dieksploitasi.
- QS
Adz-Dzariyat [51]: 19: "Dan pada harta benda mereka ada hak
untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta."
Meskipun ayat ini lebih umum tentang zakat, spirit di baliknya – pengakuan
adanya hak kaum fakir dalam harta orang kaya – sangat sejalan dengan
tuntutan serikat buruh untuk pembagian nilai tambah yang lebih adil antara
pemilik modal dan pekerja.
Hadits Nabi Muhammad SAW juga secara tegas membela hak-hak
pekerja:
- Salah
satu hadits yang paling masyhur diriwayatkan oleh Ibn Majah:
"Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibn
Majah). Hadits ini bukan hanya menekankan ketepatan waktu pembayaran,
tetapi juga implikasi keadilan dalam hubungan kerja – mengakui bahwa kerja
fisik atau mental harus dihargai secara layak dan tanpa penundaan.
Dalam konteks perjuangan buruh, pembagian Qurban dapat
diinterpretasikan sebagai simbol dari tuntutan untuk distribusi kekayaan dan
hasil produksi yang lebih merata. Serikat buruh berjuang memastikan bahwa
'daging' (hasil kerja, keuntungan) tidak hanya dinikmati oleh 'pemilik hewan'
(pemilik modal) tetapi juga dibagikan secara adil kepada 'penerima' (para
pekerja), termasuk mereka yang paling rentan atau "miskin" secara
struktural dalam hubungan kerja. Solidaritas antar buruh, yang menjadi tulang
punggung serikat, adalah perwujudan kolektif dari spirit berbagi dan saling
peduli ini.
Relevansi Kontemporer: Menghadapi Tantangan Perburuhan
Era Digital
Di era kontemporer, tantangan perburuhan semakin kompleks,
meliputi isu upah layak, kerja fleksibel yang prekarius, jaminan sosial,
keselamatan dan kesehatan kerja, hak berserikat di tengah otomatisasi dan
ekonomi gig. Dalam situasi ini, "hikmah" Idul Adha menawarkan sumber
daya moral dan etis yang penting bagi gerakan buruh, khususnya di negara-negara
dengan mayoritas Muslim.
- Sumber
Ketahanan: Keyakinan pada janji keadilan Ilahi dapat menjadi
sumber ketahanan spiritual bagi buruh yang menghadapi kondisi kerja yang
berat dan perjuangan yang panjang. Spirit pengorbanan menumbuhkan
keberanian untuk bersuara dan bertindak.
- Basis
Solidaritas: Prinsip berbagi dan peduli (ta'awun) yang diwujudkan
dalam Qurban dapat memperkuat ikatan solidaritas antar anggota serikat,
melampaui perbedaan sektoral atau demografis.
- Legitimasi
Etis: Merujuk pada ajaran Islam tentang keadilan dan hak pekerja
memberikan legitimasi etis bagi tuntutan serikat buruh di mata masyarakat
umum, dan bahkan dapat menekan aktor negara atau korporasi yang mengklaim
nilai-nilai keagamaan.
- Kritik
terhadap Eksploitasi: Kisah Ibrahim menantang berhala dapat
menjadi inspirasi untuk secara kritis menolak "berhala-berhala"
modern seperti pemujaan profit di atas martabat manusia, atau sistem
ekonomi yang melanggengkan ketidakadilan struktural.
Bagi peneliti, menelaah hubungan antara perayaan keagamaan
seperti Idul Adha dan gerakan sosial seperti serikat buruh membuka ruang
analisis interdisipliner yang kaya. Ini memungkinkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang bagaimana keyakinan dan praktik keagamaan dapat memengaruhi
kesadaran kelas, mobilisasi politik, dan konstruksi makna keadilan dalam
konteks lokal maupun global.
Qurban sebagai Protes terhadap Ketidakadilan
Idul Adha, lebih dari sekadar perayaan tahunan, mengandung
"hikmah" yang relevan secara universal: pentingnya pengorbanan demi
prinsip yang lebih tinggi, keniscayaan melawan kezaliman, dan urgensi
solidaritas serta keadilan distributif. Bagi gerakan serikat buruh,
prinsip-prinsip ini bukanlah abstrak, melainkan cetak biru etis dan spiritual
untuk perjuangan sehari-hari mereka menuntut hak dan martabat. Dengan demikian,
Idul Adha dapat dilihat bukan hanya sebagai momen ketaatan vertikal kepada Tuhan,
tetapi juga sebagai pengingat horizontal akan tanggung jawab sosial untuk
menciptakan masyarakat yang lebih adil – sebuah "Qurban" kolektif
melawan berhala ketidakadilan perburuhan di era kontemporer. Analisis ini
menegaskan bahwa studi gerakan buruh di masyarakat Muslim tidak dapat
sepenuhnya terpisah dari dimensi spiritual dan etis yang diinspirasi oleh
ajaran agama.
0 Komentar