Dalam lanskap legislasi ketenagakerjaan, keberadaan
norma-norma yang secara spesifik menyentuh aspek-aspek biologis dan kesehatan
pekerja perempuan seringkali dipandang sebagai indikator kemajuan dan
keberpihakan negara terhadap kelompok yang secara historis rentan. Pasal 81
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut
UU Ketenagakerjaan) adalah salah satu contohnya.
Pasal ini, pada permukaannya, tampak memberikan pengakuan
dan perlindungan terhadap kondisi spesifik yang dialami pekerja perempuan—nyeri
haid. Namun, dengan sedikit pembongkaran struktural dan analisis mendalam
terhadap konstruksi bahasanya, korelasi dengan asas-asas hukum, serta
implikasinya di lapangan, tersingkap suatu gambaran yang jauh dari ideal. Pasal
ini, alih-alih menjadi perisai hak, justru menjelma menjadi ilusi normatif yang
terperangkap dalam jebakan diskresi pengusaha dan kelemahan implementasi.
Mari kita cermati anatomis Pasal 81 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa
haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja
pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. (2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ayat (1) merumuskan suatu kondisi dan hak. Kondisinya
adalah "dalam masa haid merasakan sakit," dan haknya
adalah "tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua,"
yang dipicu oleh syarat "memberitahukan kepada pengusaha."
Sekilas, ini tampak sebagai pengakuan eksplisit terhadap hak dasar untuk tidak
memaksakan diri bekerja dalam kondisi nyeri fisik yang dialami jutaan perempuan
setiap bulannya.
Data dari Kementerian Kesehatan atau survei kesehatan masyarakat seringkali menunjukkan prevalensi dismenore (nyeri haid) pada perempuan usia produktif cukup tinggi, Riskesdas Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 menunjukkan prevalensi dismenore di Indonesia sebesar 64,25%, yang terdiri dari dismenore primer 54,89% dan dismenore sekunder 9,36%. dengan sebagian besar melaporkan tingkat nyeri ringan hingga sedang, namun sebagian lainnya—sekitar 10-15%—mengalami nyeri berat yang mengganggu aktivitas harian, termasuk bekerja. Norma ini seolah hadir sebagai respons atas realitas biologis ini.
Namun, analisis kritis pada susunan bahasanya menyingkap
beberapa kelemahan fundamental pada Ayat (1) itu sendiri. Frasa "merasakan
sakit" bersifat subjektif dan rentan terhadap interpretasi yang
berbeda antara pekerja dan pengusaha. Tidak ada indikator objektif atau standar
minimal "sakit" yang memvalidasi kondisi tersebut.
Ini membuka celah bagi
pengusaha untuk meragukan validitas klaim pekerja, bahkan menuntut bukti
tambahan (seperti surat dokter, yang seringkali tidak praktis atau memberatkan
untuk nyeri haid ringan-sedang yang tetap menghambat produktivitas).
Pembatasan pada "hari pertama dan kedua" juga
problematis, mengingat durasi dan tingkat nyeri haid bervariasi antar individu
dan bahkan dari bulan ke bulan pada individu yang sama. Periode nyeri
signifikan bisa terjadi pada hari ketiga atau bahkan lebih.
Pukulan telak terhadap potensi perlindungan Ayat (1)
datang dari Ayat (2). Frasa "Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama" adalah sumber utama kelumpuhan norma ini di
lapangan.
Ayat ini
mendelegasikan pengaturan pelaksanaan hak yang "diberikan"
di Ayat (1) kepada instrumen hukum yang berada pada hierarki di bawah
undang-undang dan, yang terpenting, sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa antara
pengusaha dan pekerja.
Dalam konteks relasi industrial yang cenderung timpang,
terutama bagi pekerja non-serikat atau di sektor informal/precarious,
perjanjian kerja (PK) seringkali bersifat individual dan standar, peraturan
perusahaan (PP) sepenuhnya disusun oleh pengusaha, dan perjanjian kerja bersama
(PKB) hanya ada di perusahaan dengan serikat pekerja yang kuat (yang notabene
minoritas dari total populasi perusahaan di Indonesia). Pendelegasian ini
secara efektif mengubah hak normatif dari undang-undang—yang seharusnya bersifat mandatory dan self-executing setelah
syarat di Ayat (1) terpenuhi—menjadi klausul yang harus dinegosiasikan atau
ditentukan secara sepihak oleh pengusaha.
Ini adalah inkonsistensi normatif yang serius jika
dikaitkan dengan asas-asas hukum.
- Asas
Kepastian Hukum (Rechtmatigheid/Legal Certainty): Pasal
81 gagal memberikan kepastian hukum. Hak "tidak wajib bekerja"
pada dasarnya digantungkan pada ada atau tidaknya pengaturan yang memadai
dalam PK, PP, atau PKB. Pekerja tidak memiliki kepastian apakah hak
tersebut benar-benar bisa diakses atau tidak, karena sangat bergantung
pada "kebaikan" atau kebijakan internal pengusaha.
- Asas
Keadilan (Gerechtigheid/Justice): Adalah tidak adil
jika suatu kondisi kesehatan biologis yang umum dan berpotensi mengganggu
harus tunduk pada beleid internal perusahaan atau negosiasi yang timpang.
Hak untuk tidak bekerja saat sakit adalah hak asasi terkait kesehatan dan
martabat, yang seharusnya tidak menjadi objek tawar-menawar atau diskresi
sepihak.
- Asas
Perlindungan (Bescherming/Protection): Meskipun niatnya
melindungi, struktur Pasal 81 justru melemahkan perlindungan itu sendiri.
Hak yang diberikan di Ayat (1) seolah ditarik kembali potensinya oleh
mekanisme pengaturan di Ayat (2). Ini adalah bentuk perlindungan yang
sifatnya performatif atau simbolis, bukan substantif.
Korelasi dengan undang-undang lain memperparah gambaran
ini. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjamin hak atas
kesehatan dan hak untuk bekerja serta mendapatkan perlakuan yang adil. UU Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan hak setiap individu untuk hidup
sehat. Pasal 81, dalam implementasinya yang lemah, kontradiktif dengan semangat
perlindungan HAM dan kesehatan ini. Bukannya memastikan pekerja perempuan dapat
menjaga kesehatannya tanpa mengorbankan hak kerja, pasal ini justru memposisikan
mereka pada posisi yang rentan untuk memilih antara menahan sakit demi
presenteeism (hadir di tempat kerja meski tidak produktif) atau mengambil
risiko dianggap tidak disiplin/tidak loyal jika mencoba menggunakan hak yang
pengaturannya tidak jelas atau restriktif di tingkat perusahaan.
Inilah yang membongkar pemahaman mengapa Pasal 81 tidak
bisa diimplementasikan secara efektif di lapangan:
1. Celah
Diskresi Pengusaha: Ayat (2) memberikan "kartu
truf" kepada pengusaha untuk membatasi, mempersulit, atau bahkan
tidak mengatur sama sekali mengenai cuti haid. Praktik di lapangan menunjukkan
PP atau PKB seringkali memperketat syarat (misal: mewajibkan surat dokter untuk
sakit yang hanya 1-2 hari), membatasi jumlah penerima (misal: hanya untuk
posisi tertentu), atau menciptakan prosedur yang rumit.
2. Minimnya
Pengawasan dan Penegakan: Pengawas ketenagakerjaan kesulitan
menegakkan Pasal 81 karena keberadaan Ayat (2). Selama pengusaha bisa
menunjukkan bahwa "pelaksanaan" cuti haid "sudah
diatur" dalam PK/PP/PKB mereka, meskipun pengaturannya sangat
restriktif atau bahkan tidak ada, secara formal mereka bisa mengklaim tidak
melanggar undang-undang karena "sudah mengatur pelaksanaannya"
sesuai Ayat (2), meskipun pengaturan tersebut meniadakan hak di Ayat (1). Data
penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan menunjukkan fokus yang lebih besar
pada isu upah minimum, jam kerja, atau pesangon, sementara isu cuti haid jarang
menjadi prioritas penegakan, sebagian besar karena sifat pengaturannya yang
ambigu dan terfragmentasi di tingkat mikro.
3. Ketakutan
dan Stigma pada Pekerja: Pekerja perempuan kerap kali
enggan mengambil cuti haid karena khawatir dianggap lemah, kurang berkomitmen,
atau takut kariernya terhambat. Ketidakjelasan prosedur dan potensi penolakan
dari pengusaha yang difasilitasi oleh Ayat (2) memperkuat ketakutan ini.
Mereka merasa tidak
memiliki dukungan hukum yang kuat untuk bersikeras menggunakan hak tersebut.
Survei terbatas pada pekerja perempuan di Indonesia seringkali mengungkap bahwa
banyak yang memilih untuk tetap bekerja dalam kondisi nyeri hebat demi menghindari
konflik atau evaluasi negatif dari atasan.
4. Kelemahan
Posisi Tawar Pekerja: Di banyak sektor dan perusahaan,
pekerja tidak memiliki serikat yang kuat untuk menegosiasikan PKB yang
pro-pekerja atau memastikan PP mencakup hak cuti haid secara adil. Akibatnya,
pengaturan pelaksanaannya sepenuhnya berada di tangan pengusaha yang memiliki
motif ekonomi untuk meminimalkan absen.
Bagaimana seharusnya pasal ini memberikan perlindungan
hak bagi pekerja perempuan? Narasi hukum yang seharusnya dibangun adalah narasi
yang menempatkan hak di Ayat (1) sebagai hak absolut yang melekat pada
kondisi biologis spesifik (nyeri haid) dan hanya memerlukan notifikasi pada
pengusaha, bukan persetujuan atau verifikasi berbelit. Ayat (2) seharusnya
tidak mengatur eksistensi atau ketersediaan hak tersebut,
melainkan hanya aspek administratif teknis dari
pelaksanaannya.
Dalam narasi hukum yang protektif, Ayat (1) harus dibaca
sebagai penegasan bahwa negara mengakui nyeri haid sebagai
kondisi yang dapat menghalangi kewajiban kerja selama maksimum dua hari
pertama, dan memberikan hak kepada pekerja untuk tidak
bekerja cukup dengan memberitahukan kondisinya. Frasa
"merasakan sakit" harus diinterpretasikan secara pro-pekerja sebagai
validasi subjektif yang tidak memerlukan bukti eksternal untuk durasi 1-2
hari yang diizinkan undang-undang.
Ayat (2), dalam narasi ini, seharusnya hanya berfungsi
sebagai mandat bagi PK, PP, atau PKB untuk mengatur bagaimana cara
memberitahukan (misal: via email, form, atau langsung ke
atasan), bagaimana pendataan administratifnya (misal: dicatat
sebagai cuti haid, bukan cuti sakit umum), atau konsekuensi prosedural lainnya
yang tidak mengurangi atau mempersulit perolehan hak itu sendiri. Ayat (2)
seharusnya tidak boleh mengandung provisi yang mewajibkan surat dokter untuk
sakit 1-2 hari, membatasi jumlah hari secara fundamental di bawah yang
diizinkan UU (2 hari), atau memberikan diskresi kepada pengusaha untuk menolak
notifikasi yang valid. Hak tersebut sudah timbul karena nyeri
dan notifikasi, bukan karena diatur dalam PP/PKB.
Perlindungan yang sejati mengharuskan pergeseran
paradigma dari diskresi pengusaha menjadi hak yang dijamin
undang-undang. Implementasi yang efektif memerlukan tidak hanya
sosialisasi, tetapi juga penegakan hukum yang pro-aktif, di mana pengawas
ketenagakerjaan berwenang untuk menyatakan batal klausul dalam PK/PP/PKB yang
bertentangan dengan semangat perlindungan di Ayat (1), terlepas dari apa yang
tertulis di Ayat (2).
Pada akhirnya, Pasal 81 UU Ketenagakerjaan berdiri sebagai contoh nyata bagaimana niat baik dalam legislasi bisa dilumpuhkan oleh konstruksi bahasa yang ambigu dan mekanisme pelaksanaan yang cacat struktural. Ini adalah pengingat kritis bahwa hukum tidak hanya tentang apa yang tertulis, tetapi bagaimana ia disusun, diinterpretasikan, dan yang terpenting, bagaimana ia berfungsi—atau gagal berfungsi—bagi mereka yang seharusnya dilindungi. Pasal ini, dalam kondisinya saat ini, lebih menyerupai janji yang tertahan di atas kertas, menunggu reformasi yang substansial untuk benar-benar mewujudkan perlindungan bagi jutaan pekerja perempuan Indonesia.
Ide Penulisan : Komite Perempuan
Olah Kata : Bidang Advokasi FSP FARKES-Reformasi
Olah Grafis dan Publikasi : Tim Media FSP FARKES-Reformasi
0 Komentar