google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Serial Bedah Regulasi--Anatomi Kerentanan Pekerja: Mutasi, Demosi, dan Celah Regulasi dalam Tatanan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Serial Bedah Regulasi--Anatomi Kerentanan Pekerja: Mutasi, Demosi, dan Celah Regulasi dalam Tatanan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

 


 

Dalam dinamika hubungan industrial modern, kekuasaan inheren yang melekat pada posisi pemberi kerja seringkali berhadapan dengan kerentanan struktural yang dihadapi oleh pekerja. Negara, melalui pembentukan undang-undang, mengemban mandat konstitusional untuk menyeimbangkan asimetri kekuasaan ini, memastikan perlindungan hak-hak dasar pekerja demi terciptanya keadilan sosial.

Namun, amatan kritis terhadap implementasi regulasi ketenagakerjaan, khususnya terkait isu mutasi dan demosi, menguak adanya celah signifikan yang, disadari atau tidak, justru membuka ruang bagi pelemahan posisi pekerja. Artikel advokasi ini bertujuan membedah pasal dan spirit regulasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020 s.t.d.d. (dalam kaidah hukum-kepanjangannya berarti sebagaimana telah di rubah dengan) UU No. 6 Tahun 2023), menilik bagaimana ketiadaan pengaturan yang eksplisit mengenai mutasi dan demosi berkelindan dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, berkorelasi dengan prinsip hak asasi manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999, serta berpotensi menjadi "topeng" bagi praktik yang merugikan pekerja, seraya menggugah kesadaran akan urgensi perbaikan.


 

Sebagai titik tolak, perlu ditegaskan: baik UU 13/2003 maupun klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja tidak memiliki pasal spesifik yang secara komprehensif mendefinisikan, mengatur syarat-syarat sahnya, atau membatasi praktik mutasi (perpindahan lokasi, posisi, atau jenis pekerjaan) maupun demosi (penurunan jabatan, golongan, atau status diikuti pengurangan upah/fasilitas). Hubungan kerja, yang menjadi fondasi utama dalam kedua undang-undang tersebut, diatur melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, seperti termaktub dalam pasal 50 s.d. 63 UU 13/2003 (dan relevansi amandemennya dalam UU Ciptaker). Pasal-pasal ini lebih banyak berfokus pada aspek pembuatan, jangka waktu, berakhirnya perjanjian kerja, serta syarat-syarat umum hubungan kerja.

 

Ketiadaan pengaturan spesifik mengenai mutasi dan demosi dalam batang tubuh undang-undang ini bukanlah keniscayaan teknis semata, melainkan celah hukum yang krusial. Dalam perspektif bahasa hukum, undang-undang seharusnya dirumuskan dengan jelas, lugas, dan tidak menimbulkan multi-tafsir (prinsip lex certa –harus Jelas dan lex stricta-Harus ketat atau tegas).

 

 Ketiadaan definisi dan syarat mutasi/demosi dalam norma undang-undang utama secara otomatis mendelegasikan pengaturan isu fundamental ini pada lingkup yang lebih rendah: perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Dalam praktik, dokumen-dokumen turunan ini seringkali disusun dengan kekuatan tawar (bargaining power) yang timpang, cenderung menguntungkan pemberi kerja, atau setidaknya, tidak memberikan jaminan perlindungan yang setara dengan level undang-undang.

 

Bedah secara bahasa hukum menunjukkan bahwa "ketiadaan" di sini adalah bentuk ambiguitas normatif yang paling berbahaya – ambiguitas karena kelangkaan atau ketidaklengkapan norma (normative gap). Ketika undang-undang tidak mengatur secara limitatif atau memberikan rambu-rambu yang jelas mengenai syarat mutasi/demosi, praktik ini dianggap sebagai bagian dari hak prerogatif manajemen (management prerogative) dalam mengelola sumber daya manusia, selama tidak secara eksplisit dilarang atau dibatasi dalam perjanjian kerja/perusahaan/bersama. Namun, ruang interpretasi yang luas ini memungkinkan mutasi/demosi digunakan bukan semata-mata karena kebutuhan operasional atau pengembangan karyawan, melainkan sebagai instrumen terselubung (dalam "topeng" mutasi atau rotasi) untuk mengurangi status, wewenang, pendapatan, atau bahkan menciptakan kondisi kerja yang tidak nyaman (constructive dismissal) yang pada akhirnya memaksa pekerja mengundurkan diri tanpa pesangon yang selayaknya.

 

Kondisi ini jelas bertentangan dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Undang-undang seharusnya mencerminkan keadilan (pasal 5 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan prinsip "keadilan" sebagai asas materiil pembentukan peraturan). Ketiadaan norma pelindung terkait mutasi/demosi menciptakan ketidakpastian hukum bagi pekerja, melemahkan kepastian kerja mereka, dan membuka potensi penyalahgunaan wewenang. Prinsip "kemanfaatan" (utility) juga terciderai, karena alih-alih bermanfaat bagi kedua belah pihak atau setidaknya memberikan kepastian hukum yang berimbang, regulasi yang ada justru berpotensi merugikan pihak yang lebih lemah.

 

Korelasi mendalam dapat ditarik dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 38 UU HAM secara eksplisit menyatakan bahwa:

 

(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan;

 

(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil;

 

(3) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas imbalan yang sama untuk pekerjaan yang sama.

 

Praktik mutasi atau demosi yang tidak profesional, tidak transparan, diskriminatif, atau digunakan sebagai alat untuk menekan pekerja secara langsung menggerogoti hak atas pekerjaan yang layak untuk kemanusiaan. Penurunan jabatan atau status yang tidak objektif dan tanpa dasar yang jelas mencederai hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Apabila mutasi/demosi tersebut berujung pada hilangnya pekerjaan atau penurunan pendapatan secara drastis tanpa kompensasi atau prosedur yang adil, ini adalah pelanggaran terhadap hak fundamental yang dijamin UU HAM, terlepas dari ketiadaan pasal spesifik mengenai mutasi/demosi dalam UU Ketenagakerjaan. Undang-undang ketenagakerjaan seharusnya menjadi instrumentasi untuk mengimplementasikan HAM di sektor kerja, bukan malah menciptakan "zona abu-abu" yang memungkinkan pelanggaran hak.

 

Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan, adagium hukum Salus Populi Suprema Lex Esto (Kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi) seyogyanya menjadi panduan. Jika praktik mutasi/demosi tanpa regulasi yang jelas berujung pada penurunan kesejahteraan, ketidakpastian, dan kerentanan pekerja, maka regulasi yang ada gagal menjalankan fungsi utamanya. Adagium lain, meski lebih umum, seperti Fiat Justitia Ruat Caelum (Tegakkan keadilan walau langit runtuh) menegaskan pentingnya keadilan subsantif yang harus dicapai, melampaui kepatuhan pada teks hukum yang (sengaja atau tidak) memiliki celah.

 

Benang merahnya terang benderang: rotasi pekerja yang disamarkan dalam "topeng" mutasi atau bahkan secara terang-terangan dalam bentuk demosi, dalam konteks ketiadaan regulasi yang kuat di tingkat undang-undang, secara fundamental melemahkan hak pekerja. Ini bukan sekadar isu manajerial, melainkan isu hukum dan hak asasi manusia. Ruang kosong dalam UU 13/2003 dan UU Ciptaker terkait mutasi dan demosi adalah undangan terbuka bagi praktik-praktik yang tidak adil, menempatkan pekerja dalam posisi tawar yang makin rentan, dan menjauhkan kita dari cita-cita keadilan sosial dalam hubungan kerja.

 

Penggugahan kesadaran ini ditujukan kepada para pemangku kepentingan: kepada legislatif, bahwa perlu adanya revisi undang-undang yang secara eksplisit mengatur kriteria, prosedur, dan batasan mutasi/demosi; kepada yudikatif, agar dalam memutus sengketa terkait isu ini senantiasa berorientasi pada perlindungan hak pekerja dan prinsip-prinsip HAM serta kaidah pembentukan regulasi yang baik; kepada serikat pekerja dan pekerja, untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka dalam perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan, serta berani menentang praktik yang tidak adil; dan kepada pemberi kerja, untuk menjalankan praktik manajemen yang beretika dan menjunjung tinggi martabat pekerja, bahkan di tengah ketiadaan regulasi yang ketat. Hanya dengan kesadaran kolektif dan tindakan proaktif, celah hukum ini dapat ditutup, dan "topeng" mutasi yang merugikan pekerja dapat dienyahkan, mengembalikan marwah hukum ketenagakerjaan sebagai pelindung, bukan pembiar kerentanan dan ketimpangan dalam penegakkan hukum.


Bidang Advokasi FSP FARKES-R

Posting Komentar

0 Komentar