Serial Cerpen Realitas Buruh
Di antara desisan cairan infus dan aroma antiseptik yang menusuk, di sudut ruang istirahat yang remang, kelelahan bukan hanya milik pasien; ia adalah selimut tebal yang juga melindungi para penjaga denyut kehidupan kota, mereka yang berseragam putih, dan mereka yang berjaket hijau.
Jutaan Angka di Atas Aspal
Udara dingin dini hari masih menggigit di koridor RS xxx di pinggiran petak kota satelit jakarta. Lampu neon di ruang jaga perawat berkedip lesu, seolah-olah sesuai dengan tingkat energi penghuninya. Ayu, perawat senior dengan lingkaran hitam permanen di bawah matanya, menyesap kopi pahit dari gelas platik yang sudah lembek sebagian. Di situ, Pak Budi, satpam malam berbadan tegap namun bahu sedikit melorot, sibuk mengelap kacamata. Rina, perawat baru yang masih sering tersentak kaget mendengar panggilan darurat, menyandungkan kepala di dinding, matanya terpejam tapi pikiran melayang.
"Ayu perhatikan nggak sih, Yu?” Pak Budi memecah keheningan, suara serak. "Sekarang ini ojol makin banyak ya kelihatannya? Tiap jam ada aja yang keluar masuk gerbang, nganterin makanan, nganterin barang."
Ayu mengangguk pelan, matanya lurus menatap kosong ke dinding berubin putih. "Banyak banget pak. Kayak laron di musim hujan. Tadi siang saya iseng dengerin berita di HP, ada yang nyebut angkanya itu lho...bikin pusing."
Rina mengangkat kepala, penasaran. “Angka apa, Mbak?”
"Angka jumlah mereka," jawab Ayu. "Bingung. Ada yang bilang lebih dari 7 juta 'mitra', katanya dari Maxim. Tapi dia sendiri nggak yakin itu cuma ojol atau campur taksi online, kurir... Terus BPJS Ketenagakerjaan malah bilang 2 juta. Garda Indonesia tahun 2020 bilang 4 juta." Ayu menarik napas panjang. "Empat juta, tujuh juta... Angka-angka itu kok nggak ada yang pasti ya? Kayak... nggak ada yang benar-benar mau hitung mereka, atau nggak ada yang bisa hitung saking banyaknya dan saking nggak jelas statusnya?"
Pak Budi mengangguk setuju. "Benar, Mba Ayu. Di pos jaga itu macam-macam yang saya dengar. Ada yang cerita temannya baru gabung, ada yang cerita keluarganya narik tapi aplikatornya berbeda. Kayaknya memang jutaan orang menggantungkan hidupnya dari situ. Tapi ya itu, jumlahnya tidak jelas, statusnya apalagi."
Rina termenung. "Jutaan orang...tapi kok kayak gak ada yang 'punya' mereka ya? Maksud saya, beda sama kita kan, Mbak? Kita karyawan rumah sakit, jelas siapa bos kita, jelas gajinya, jelas ada BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan..."
"Nah, itu dia yang bikin miris," sela Ayu, nadanya berubah getir. "BPJS Ketenagakerjaan yang bilang ada 2 juta ojol itu, cuma 250 ribu yang terdaftar! Artinya 1,75 juta orang itu narik di jalan, bawa nyawa orang atau barang, tapi tidak punya jaminan sosial dasar. Kalau kenapa-kenapa di jalan, siapa yang tanggung jawab?"
Algoritma Cambuk Tak Terlihat
Kopi Ayu sudah dingin, tapi ia tetap menyesapnya seolah mencari kekuatan. “Angka-angka itu bukan soal berapa banyak orang di jalan, tapi seberapa besar kerentanan mereka,” kata Ayu. "Mereka itu bukan karyawan. Mereka 'mitra'. Dan 'bos' mereka itu bukan manusia yang bisa diajak ngomong, yang punya hati nurani... Bintang lima! Bos mereka itu algoritma ."
Pak Budi mengerutkan dahi. "Algoritma? Kode-kode di HP itu ya?"
"Iya, Pak. Kode-kode itu nggak berwujud itu yang mengatur hidup mereka. Itu kaku tak terlihat," jelas Ayu, matanya menyala meski lelah. "Algoritma yang menentukan siapa yang dapat memesan duluan. Algoritma yang memainkan harga, bikin harga per kilometer itu makin lama makin murah. Algoritma yang kasih penalti kalau tidak ambil order, atau kalau rating turun dikit aja. Mereka dipaksa kerja keras bikin lama buat dapat uang yang sama, atau bahkan lebih sedikit."
Rina mendengarkan dengan saksama. “Jadi, algoritmanya sudah menindas ya, Mbak?”
"Persis!" Ayu menggebrak meja pelan-pelan dengan cangkir styrofoam-nya. "Itu kebetulan modern. Nggak ada mandor yangteriak-teriak, tapi ada sistem yang memaksa mereka terus-menerus di jalan. Sistem yang bikin mereka nggak bisa nolak order murah kalau lagi sepi, karena takutnya 'anyep' atau ratingnya jatuh. Sistem yang bikin mereka harus kejar target, kadang sampai tidak istirahat, demi bonus kecil yang juga diatur algortima. Mereka itu bukan lawan manusia, tapi lawan kode-kode komputer yang tidak kenal lelah, tidak kenal lapar, tidak kenal anak istri menunggu di rumah."
Bayang-Bayang upah minim dan Jam Kerja Melelahkan
Ayu membuka HP-nya, mencari data yang tadi dibacanya. "Dengar ini ya... Survei IDEAS tahun lalu. Pra-pandemi, 2018-2019, rata-rata pendapatan ojol itu Rp 304 ribu per hari. Lumayan kan? Terus pandemi, anjlok ke Rp 100 ribu per hari. Sekarang pasca-pandemi, naik lagi tapi cuma jadi Rp 174 ribu per hari."
Pak Budi bersiul pelan. “Wah, turun banyak ya dari sebelum pandemi.”
"Bukan cuma turun," sambung Ayu, membaca lagi datanya. "Untuk mendapatkan rata-rata Rp 174 ribu itu, mereka rata-rata nyelesaiin 10 pesanan, nempuh jarak 42 kilometer, dan... kerja sampai 11 jam per hari!"
Rina yang tadinya agak meragukan langsung tegak. "Sebelas selai? Astaga... Kita shift 8 jam aja udah rasanya mau copot semua tulang."
“Dan yang lebih gila lagi data dari Balitbang Kemenhub,” lanjut Ayu, suaranya sedikit meninggi karena mengecewakan. "Tahun 2022, 50,1 persen responden mengatakan rata-rata pendapatan harian mereka Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Sementara, 44,1 persen responden juga mengatakan biaya operasional mereka—bensin, servis motor, pulsa, kuota internet—itu Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu per hari! Artinya...?!"
Ia berhenti sejenak, membiarkan angka-angka itu meresap.
"Artinya," lanjutnya, "banyak dari mereka yang penghasilannya itu cuma nutup biaya operasional ! Nggak ada sisa buat makan, buat sewa kontrakan, buat bayar sekolah anak. Bayarannya habis di bensin dan perawatan motor yang dipakai buat cari uang itu sendiri!"
Pak Budi menggeleng-gelengkan kepala. "Ya Tuhan. Jadi, kalau motornya rusak, atau dia sakit nggak bisa narik, hari itu nggak ada uang masuk sama sekali?"
"Tidak, Pak. Bukan hanya nol, mungkin malah tekor kalau motornya butuh perbaikan besar," jawab Ayu pahit. "Kita setidaknya kalau sakit ada cuti sakit, ada tunjangan, gaji pokok jalan. Mereka? Nggak narik, nggak makan."
Kami dan Mereka: Sama-Sama Terkuras
Rina menarik napas dalam. "Dengar cerita mereka... kok rasanya nggak jauh beda ya sama kita?"
Ayu dan Pak Budi menatapnya.
"Ya... beda status pekerjaan, beda seragam, beda ruang kerja," lanjut Rina ragu. "Tapi sama-sama kerja keras, jam kerja panjang, pulang badan remuk. Gaji kita juga nggak seberapa kan, Mbak? Sering telat, insentif dipotong. Kita setiap hari berhadapan sama pasien yang sakit, keluarga yang cemas, tekanan dari atasan... Mikirin akreditasi, mikirin prosedur yang numpuk..."
Ayu mengangguk. "Iya, Rina. Kita sama-sama 'pekerja lelah' di kota ini. Sama-sama jadi bagian dari nadi kota yang bikin semua berjalan. Kita jaga kesehatan orang, mereka jaga mobilitas dan perut lapar orang."
“Bedanya,” sambung Ayu, terdengar kembali pelan, “Kita punya struktur yang jelas, yang seharusnya melindungi kita, meskipun perlindungannya sering keropos. Kita punya ijazah, punya lisensi, punya organisasi profesi. Kita digaji, bukan 'bagi hasil' yang seenaknya diubah algortima. Kita punya tempat kerja fisik yang jelas, bukan di atas aspal yang penuh risiko.”
“Mereka itu di atas aspal, di bawah matahari dan hujan, diatur sama kode yang nggak bisa diprotes,” timpal Pak Budi. "Dan yang paling berbahaya, jutaan orang itu bekerja kayak gitu, tapi nggak ada yang tahu pasti jumlahnya, nggak ada yang jamin keselamatannya, gajinya cuma habis buat ongkos kerja. Kayak... Kayak mereka itu nggak dianggap ada, tapi kalau nggak ada mereka, kota ini lumpuh."
Keheningan kembali mengacaukan ruang istirahat. Aroma kopi dingin dan biskuit kemasan terasa hambar. Di luar, sirine ambulans melolong samar, mengingatkan mereka akan denyut kehidupan (dan kematian) yang tak pernah berhenti.
Ayu memandang Rina, lalu ke Pak Budi. Ada pemahaman yang dalam di mata mereka yang lelah. Mereka, yang berseragam putih dan security, dan mereka, yang berjas lab hijau, adalah dua sisi mata uang yang sama: tenaga kerja kota yang terus digerus, yang berjuang di bawah tekanan yang berbeda, tapi sama-sama menguras fisik dan jiwa, demi sekadar bertahan hidup di tengah angka-angka yang terkadang tak manusiawi.
Algoritma dan birokrasi ternyata bisa sama-sama dingin dan kejam. Dan di malam yang sunyi itu, di antara desisan mesin dan denyut nadi pasien yang dijaga, mereka merasakan denyut nadi kota yang lain, yang berjuang keras, namun nyaris tak terlihat, di bawah jempol-jempol yang terus menekan layar telepon genggam.
-_-
0 Komentar