Ketika penyakit merundung seorang pekerja, norma hukum menawarkan perlindungan, namun apakah arsitektur hubungan industrial, yang konon harmonis, justru menciptakan ruang negosiasi atas hak yang sejatinya absolut?
- “Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenal diri sendiri adalah puncak segala keberanian.”--Quote Buya Hamka ini, serasa relate untuk serial tulisan bedah pasal UU Ketenaga Kerjaan, kali ini menyoroti Pasal mengenai PHK karena sakit.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Ciptaker) telah memicu diskursus pemikiran dan pemahaman yang multi-dimensi, khususnya dalam klaster ketenagakerjaan. Salah satu provisi yang relevan diperbincangkan dalam konteks perlindungan fundamental pekerja adalah larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja yang sakit. Meskipun UU Ciptaker melakukan revisi substansial pada pengaturan ketenagakerjaan sebelumnya (UU No. 13 Tahun 2003), prinsip dasar perlindungan terhadap pekerja sakit cenderung dipertahankan, terutama yang terkait dengan alasan PHK yang dilarang.
Pasal 153 UU Ciptaker (yang merujuk pada dan/atau melanjutkan semangat ketentuan serupa dalam UU 13/2003) secara eksplisit mencantumkan alasan-alasan yang tidak dapat dijadikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK. Dalam daftar tersebut, kondisi sakit pekerja, di bawah parameter dan durasi tertentu, kerap termasuk dalam kategori alasan yang dilarang.
Tulisan ini berupaya membedah konstruksi yuridis larangan PHK pekerja sakit sebagaimana terejawantah (atau seharusnya terejawantah) dalam semangat Pasal 153 UU Ciptaker, menganalisis susunan kalimat, isi normatif, dan potensi tafsirannya; mengorelasikannya dengan jaminan hak atas pekerjaan layak dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM); serta mengkontemplasikannya dalam bingkai Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang ideal versus realitas empiris yang mungkin justru menyoalkan kembali hak yang telah dilindungi.
Bedah Konstruksi Yuridis Pasal 153: Bahasa Hukum, Isi, dan Tafsiran Larangan PHK Pekerja Sakit.
Pasal 153 UU Ciptaker, khususnya ayat (1), menyajikan daftar panjang alasan yang dilarang dijadikan dasar PHK oleh pengusaha. Poin spesifik yang berkaitan dengan pekerja sakit (yang biasanya merujuk pada kondisi sakit permanen atau sakit dengan durasi tertentu yang memenuhi kriteria medis) secara normatif menyiratkan sebuah prohibisi absolut dalam konteks alasan kausalistiknya.
Dalam perpektif bahasa hukum, susunan kalimat dalam pasal-pasal larangan PHK semacam ini biasanya menggunakan formulasi yang tegas, misalnya "Pengusaha dilarang melakukan PHK terhadap Pekerja/Buruh dengan alasan..." diikuti dengan daftar poin-poin. Konstruksi ini menandakan bahwa alasan-alasan yang tercantum bersifat imperatif bagi pengusaha – mereka tidak boleh melakukan PHK jika alasannya semata-mata salah satu dari yang terlarang tersebut.
"Penegak hukum tolonglah dalami Surah An-Nissa ayat 155 dan Surah Al-Baqarah ayat 188, yang intinya jadilah kamu penegak keadilan dan mulailah dari adil pada dirimu sendiri. Jangan mengambil milik orang lain.”--Prof. Erman Rajagukguk.
Analisis susunan kalimat dalam Pasal 153 (merujuk pada semangat perlindungan pekerja sakit yang diakomodir dalam UU Ciptaker, meskipun mungkin dirinci di pasal lain atau peraturan turunannya terkait kriteria 'sakit' yang dilindungi dari PHK) mengungkap upaya pembentukan norma protektif.
Frasa kunci di sini adalah "dengan alasan...". Ini menekankan pada motif atau landasan keputusan PHK. Jika motif utamanya adalah kondisi kesehatan pekerja (yang sah secara medis dan dalam batas waktu perlindungan), maka PHK tersebut terlarang. Namun, bahasa hukum seringkali membuka ruang tafsir melalui frasa pembatas atau penjelas yang mungkin ada di ayat atau pasal terkait lainnya. Misalnya, "pekerja/buruh sakit berdasarkan keterangan dokter yang jangka waktu tidak melampaui batas 12 (dua belas) bulan" (merujuk pada rumusan sebelumnya yang sering menjadi basis). Frasa ini penting: perlindungan dari PHK bukan tanpa batas waktu, dan membutuhkan verifikasi medis. Ini menunjukkan bahwa norma protektif tersebut memiliki batasan prosedural dan temporal.
Dari sisi isi, pasal ini menegaskan prinsip bahwa kondisi kesehatan yang sah dan temporer atau dalam batas waktu perlindungan, bukanlah kesalahan atau alasan yang adil bagi pengusaha untuk menghilangkan hak pekerja atas pekerjaan. Ini adalah manifestasi pengakuan negara terhadap realitas bahwa sakit adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia, dan tidak sepantasnya menjadi malapetaka ganda yang menghilangkan kesehatan sekaligus mata pencaharian.
Namun, tafsiran pasal ini bisa menjadi arena sengketa. Apa makna "sakit"? Apakah hanya penyakit fisik atau termasuk mental? Bagaimana jika pekerja sakit berulang-ulang tapi durasinya pendek? Bagaimana membuktikan bahwa PHK benar-benar "dengan alasan" sakit, bukan alasan terselubung lainnya yang mungkin tidak dilarang atau lebih mudah dibuktikan? Di sinilah potensi ambivalensi norma muncul, di mana ketegasan dalam teks bisa berhadapan dengan kompleksitas dalam penerapan dan pembuktian.
Korelasi Normatif dengan Pasal 38 UU HAM 1999: Hak atas Pekerjaan yang Layak
Larangan PHK pekerja sakit dalam Pasal 153 UU Ciptaker memiliki korelasi normatif yang kuat dan mendalam dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 38 ayat (1) UU HAM menyatakan, "Setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan." Ayat (2) melanjutkan, Menjamin hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Ini termasuk hak atas upah yang layak, jam kerja yang wajar, dan kondisi kerja yang aman dan sehat.
Pasal 38 UU HAM 1999 adalah norma hak asasi manusia yang bersifat fundamental dan programatik. Ia menjamin hak setiap individu untuk memiliki dan mempertahankan pekerjaan yang tidak hanya memberikan penghasilan, tetapi juga harkat dan martabat ('layak bagi kemanusiaan'). Pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang, apalagi dengan alasan yang diskriminatif atau tidak adil seperti kondisi sakit yang sah, jelas merupakan perampasan atas hak fundamental ini. Dalam konteks inilah, Pasal 153 UU Ciptaker (dan ketentuan perlindungan serupa dalam UU Ketenagakerjaan) berfungsi sebagai derivasi normatif atau eksemplifikasi konkret dari hak yang dijamin dalam Pasal 38 UU HAM.
Larangan PHK pekerja sakit adalah salah satu bentuk perlindungan negara untuk memastikan bahwa hak atas pekerjaan tidak dapat dicabut secara mudah karena kondisi di luar kontrol pekerja yang memerlukan empati dan dukungan, bukan hukuman berupa pemecatan. Ini adalah manifestasi komitmen negara untuk menjaga 'kelayakan' pekerjaan – bahwa pekerjaan bukan hanya tentang produktivitas, tetapi juga tentang keamanan dan perlindungan diri pekerja sebagai manusia seutuhnya, termasuk saat mereka rentan karena sakit. Dengan demikian, Pasal 153 UU Ciptaker dapat dilihat sebagai instrumen hukum positif yang dirancang untuk menjaga agar pelaksanaan hubungan kerja tidak mencederai hak asasi manusia, khususnya hak atas pekerjaan yang dijamin oleh UU HAM. Pelanggaran terhadap larangan PHK pekerja sakit pada dasarnya adalah pelanggaran terselubung terhadap hak asasi manusia untuk bekerja secara layak.
Kontemplasi Skeptis dalam Bingkai Hubungan Industrial Pancasila: Harmoni yang Merundingkan Pelanggaran?
Paradigma Hubungan Industrial Pancasila (HIP) secara ideal digambarkan sebagai tata hubungan antara pelaku proses produksi (pengusaha, pekerja/buruh, pemerintah) yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, bersifat kekeluargaan, serasi, selaras, seimbang, dan musyawarah untuk mufakat.
Dalam bingkai ideal ini, perlindungan terhadap pekerja sakit melalui Pasal 153 seharusnya terejawantah dengan mulus. Asas kekeluargaan menuntut empati dan dukungan dari pengusaha kepada pekerjanya yang sakit. Prinsip keserasian dan keselarasan menghendaki keseimbangan antara hak pengusaha (mendapatkan produktivitas) dan hak pekerja (mendapatkan perlindungan dan keberlangsungan kerja saat rentan). Norma Pasal 153 seharusnya menjadi pilar penopang harmoni ini, mencegah konflik yang timbul dari tindakan PHK sewenang-wenang.
Namun, di sinilah kontemplasi skeptis kita menemukan celahnya. Realitas empiris hubungan industrial, seringkali diwarnai oleh disparitas kekuatan tawar (bargaining power) yang signifikan antara pengusaha dan pekerja. Pekerja individual seringkali berada pada posisi yang lemah, terutama saat sakit dan membutuhkan dukungan paling besar. Dalam konteks ini, ideal HIP yang mengedepankan musyawarah dan mufakat, yang seharusnya menjadi jalan mencapai kesepakatan yang adil, justru bisa menjadi arena di mana hak yang telah dijamin oleh undang-undang dinegosiasikan atau bahkan dikompromikan.
Mengapa skeptisisme ini muncul? Analogis skeptis berbisik: bukan hanya tentang menyelesaikan sengketa, sistem HIP dalam praktiknya—terutama di tingkat implementasi—mungkin merundingkan pelanggaran. Artinya, alih-alih secara tegas menerapkan norma larangan PHK pekerja sakit sebagaimana termaktub dalam Pasal 153, proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial (yang berlandaskan HIP) justru membuka ruang bagi pengusaha untuk menawarkan "solusi" di luar koridor hukum yang seharusnya menjadi hak absolut pekerja.
Negosiasi bisa berupa tawaran pesangon yang lebih rendah dari yang seharusnya jika PHK dianggap batal demi hukum, atau bahkan upaya mencari-cari alasan lain yang "sah" untuk PHK demi menghindari jerat Pasal 153.
“Pengadilan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada pengadilan yang sudah umum dan itu dapat menyebutnya sebagai pengadilan nurani. Pengadilan ini menggantikan semua pengadilan lainnya.”
“Kebenaran tidak akan merusak tujuan keadilan.”-- Mahatma Gandi
Proses mediasi, konsiliasi, hingga pengadilan HI, meskipun bertujuan mencari keadilan dan mufakat, bisa menjadi medan pengujian ketahanan finansial dan mental pekerja yang sakit melawan sumber daya pengusaha. Di bawah tekanan, seorang pekerja sakit mungkin terdorong untuk menerima tawaran yang merugikannya, sekadar untuk mengakhiri ketidakpastian dan mendapatkan kepastian (meskipun jauh dari ideal) di tengah kondisi kesehatannya yang menurun.
Dalam skenario ini, "harmoni" yang tercipta bukanlah harmoni yang didasarkan pada penegakan hak, melainkan harmoni semu yang lahir dari kelelahan dan keputusasaan pihak yang lemah, melegitimasi paradoksal: hak yang dilindungi undang-undang justru 'dijual' atau 'ditukar' dalam proses yang konon harmonis dan kekeluargaan.
Bahasa hukum Pasal 153 mungkin tegas, namun bahasa pragmatisme dalam praktik hubungan industrial bisa lebih kuat, menggiring norma yang protektif ke dalam labirin negosiasi yang melelahkan. Ini adalah ironi: kerangka yang seharusnya menjaga harmoni dan keadilan berdasarkan Pancasila justru berpotensi menjadi alat untuk mengaburkan atau menggerus hak-hak fundamental pekerja, termasuk hak untuk tidak di-PHK hanya karena kondisi sakit yang sah. Pertanyaan mendasar pun menggantung: apakah HIP benar-benar mewujudkan keadilan substansial atau hanya menyediakan mekanisme formal yang memungkinkan pelanggaran hak dinegosiasikan secara de facto?
Dalam aliran kesadaran kontemplatif ini, pikiran berkelana pada jurang diskrepansi: jurang antara teks undang-undang yang bermaksud melindungi, jaminan hak asasi yang universal, ideal luhur filosofi bangsa, dan realitas pahit di mana kekuatan ekonomi seringkali mendikte hasil akhir, bahkan dalam perkara yang menyangkut kemanusiaan dasar seorang pekerja yang terbaring sakit.
Pasal 153 UU Ciptaker berdiri sebagai benteng hukum, namun efektivitasnya sangat bergantung pada seberapa teguh benteng tersebut dipertahankan dari erosi oleh dinamika kekuatan yang tidak seimbang dan potensi penyimpangan dalam implementasi kerangka Hubungan Industrial Pancasila itu sendiri. Perlindungan pekerja sakit tidak hanya mensyaratkan norma yang jelas, tetapi juga penegakan hukum yang tanpa kompromi dan pemaknaan HIP yang benar-benar menempatkan keadilan dan hak asasi manusia sebagai fondasi, bukan sekadar retorika untuk menutupi negosiasi atas pelanggaran.
Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur - hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.
Terinspirasi dari kasus pengurus PUK yang terancam pasal PHK karena sakit.
Bidang ADVOKASI FSP FARKES-R
30 APRIL 2025
0 Komentar