Di tengah gemuruh euforia kunjungan Filantrofi
Global-Bill Gates, dan harapan akan solusi kesehatan global, kedatangan seorang
visioner teknologi ke tanah air mengungkap lapisan-lapisan kompleks dari sistem
yang seringkali melupakan mereka yang berdiri di garis terdepan mereka adalah para
pekerja kesehatan.
Tanggal 7 Mei 2025, Istana Kepresidenan Jakarta menjadi
saksi pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Republik Indonesia dan Bill
Gates, sosok yang identik dengan inovasi teknologi, kekayaan global, sekaligus
filantropi skala besar. Agenda utama yang diumumkan Presiden Prabowo Subianto
adalah rencana uji coba vaksin TBC yang tengah dikembangkan di Indonesia.
Berita ini sontak menjadi sorotan, membangkitkan optimisme akan penanganan
penyakit yang masih menjadi momok di negara ini. Namun, di balik narasi ilmiah
dan kolaborasi global yang megah ini, terbentang lanskap kompleks kapitalisme
global dalam industri farmasi, sebuah sistem yang memiliki dua wajah: inovasi
luar biasa di satu sisi, namun juga potensi eksploitasi dan ketidaksetaraan
yang mendalam di sisi lain, terutama bagi mereka yang paling rentan, termasuk
para pekerja kesehatan.
Industri farmasi global adalah salah satu sektor paling menguntungkan di dunia. Didorong oleh mekanisme pasar dan perlindungan kekayaan intelektual yang ketat, perusahaan farmasi multinasional menginvestasikan miliaran dolar dalam penelitian dan pengembangan (R&D), menghasilkan terobosan medis yang menyelamatkan jutaan nyawa. Pasar farmasi global diperkirakan mencapai nilai triliunan dolar per tahun, dengan margin keuntungan yang sering kali mencengangkan. Menurut data dari berbagai sumber, pendapatan gabungan perusahaan farmasi terbesar di dunia bisa melebihi PDB banyak negara. Ini adalah bukti kekuatan kapitalisme dalam memobilisasi sumber daya untuk mengatasi tantangan kesehatan. Namun, logika keuntungan ini juga yang menentukan prioritas penelitian – penyakit di negara kaya dengan daya beli tinggilah yang seringkali mendapat perhatian utama, sementara penyakit tropis atau penyakit yang melanda negara miskin tertinggal, atau pengembangannya bergantung pada inisiatif filantropis atau kemitraan publik-swasta yang sifatnya masih parsial.
Kedatangan Bill Gates dengan agenda uji coba vaksin TBC di
Indonesia harus dilihat dalam konteks ini. TBC adalah penyakit yang sangat
relevan bagi Indonesia, yang merupakan penyumbang kasus TBC terbesar kedua di
dunia setelah India, dengan perkiraan jutaan kasus dan puluhan ribu kematian
setiap tahunnya. Pengembangan vaksin TBC baru sangat krusial dibandingkan
vaksin BCG yang sudah ada, yang efektivitasnya terbatas, terutama pada orang
dewasa. Keterlibatan yayasan filantropi seperti Bill & Melinda Gates Foundation
memang telah menjadi motor penggerak penelitian untuk penyakit-penyakit yang
kurang menarik bagi investasi murni pasar. Ini adalah sisi positif intervensi
nirlaba dalam mengisi celah kegagalan pasar. Namun, proses uji coba klinis,
produksi, dan distribusi vaksin ini tetap akan berinteraksi dengan, bahkan
mungkin bergantung pada, struktur industri farmasi kapitalistik yang ada.
Pertanyaannya adalah, bagaimana interaksi ini akan mempengaruhi nasib para
aktor di lapangan, terutama mereka yang menjadi tulang punggung pelaksana uji
coba dan nantinya program vaksinasi: para pekerja kesehatan?
Inilah titik krusial di mana narasi besar tentang solusi
kesehatan global bertemu dengan kenyataan keras di tingkat akar rumput. Uji
coba klinis skala besar membutuhkan tim profesional yang bekerja di lapangan –
dokter, perawat, teknisi laboratorium, petugas enumerasi data, fasilitator
komunitas. Mereka adalah wajah dari sains yang menjangkau masyarakat.
Proyek-proyek besar seperti uji coba vaksin, meskipun digagas oleh entitas
global dengan dana melimpah, seringkali mengandalkan tenaga kerja kontrak atau
paruh waktu yang direkrut secara lokal untuk durasi proyek.
Kontemplasi tentang nasib para pekerja kesehatan ini tak
bisa lepas dari ingatan kolektif kita mengenai penanganan pandemi COVID-19.
Saat itu, di tengah badai dan ancaman kematian, para Nakes (tenaga kesehatan)
berdiri paling depan. Dunia memuji mereka sebagai pahlawan, namun kenyataan
yang dihadapi banyak dari mereka jauh dari gambaran ideal tersebut. Mereka
bekerja dengan jam kerja yang brutal, minimalnya alat pelindung diri yang mampu
di awal pandemi, gaji dan tunjangan yang seringkali terlambat atau tidak sesuai
risiko, dan yang paling memengaruhi, menyebabkan kerja. Banyak Nakes, terutama
yang berada di fasilitas kesehatan swasta atau direkrut dengan skema kontrak
jangka pendek, menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja atau tidak
memperpanjang kontraknya setelah menyebabkan kasus terhenti. Mereka adalah
bagian dari rantai pasok kesehatan yang rapuh: esensial dalam pelayanan, namun
rentan secara ekonomi dan sosial.
Dalam rantai pasok industri farmasi global, para pekerja
kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia berada pada posisi yang sangat
rentan. Mereka adalah "tangan" yang menjalankan proses dari hulu
(peneliti, produsen, sponsor uji coba), namun kekuatan tawar mereka sangat
lemah. Hubungan kerja seringkali tidak seimbang. Pemberi kerja, entah itu rumah
sakit, klinik, atau tim proyek penelitian sementara, memiliki dominasi penuh.
Minimnya jaminan kepastian kerja menghantui langkah mereka. Kontrak tiga bulan,
enam bulan, atau satu tahun sudah menjadi hal lumrah. Bagaimana seseorang bisa
merencanakan masa depan, menafkahi keluarga, atau bahkan sekadar merasa tenang,
ketika status pekerjaannya selalu di ujung tanduk?
Isu jaminan berserikat pun menjadi krusial. Hak untuk
berserikat dan berunding secara kolektif adalah mekanisme penting bagi pekerja
untuk menyeimbangkan kekuatan dengan pemberi kerja, menuntut kondisi kerja yang
layak, upah yang adil, dan keamanan kerja. Namun di sektor kesehatan, terutama
bagi Nakes yang bekerja berdasarkan kontrak atau di bawah struktur proyek
penelitian sementara, organisasi serikat pekerja seringkali lemah atau bahkan
tidak ada akses untuk bergabung, membuat suara mereka terfragmentasi dan mudah
diabaikan. Mereka terjebak dalam spiral ini: rentan secara individu, sulit
bersatu, sehingga semakin mudah dieksploitasi.
Kembali ke rencana uji coba vaksin TBC yang diluncurkan Bill
Gates di Indonesia. Ini adalah peluang besar untuk menunjukkan bahwa kemajuan
ilmu pengetahuan global dapat sejalan dengan keadilan sosial lokal. Namun,
tanpa pengawasan dan jaminan yang ketat, ada risiko bahwa proyek ini, meskipun
didanai oleh filantropi, akan memanfaatkan struktur ketenagakerjaan yang rentan
yang sudah ada. Akankah para pekerja kesehatan yang terlibat dalam uji coba ini
mendapatkan kontrak kerja yang stabil, gaji yang adil sesuai risiko dan beban
kerja, jaminan kesehatan dan keselamatan yang memadai, serta hak untuk
berserikat demi melindungi kepentingan mereka? Atau akankah mereka sekali lagi
menjadi "pahlawan sementara" yang tenaganya diperas untuk tujuan
besar, namun kemudian dilepas begitu proyek selesai, tetap seperti
bayang-bayang pengalaman pahit saat penanganan COVID-19?
Ironi terlihat jelas: miliaran dolar berputar di puncak
industri farmasi dan filantropi global, sementara mereka yang menjalankan
amanah kesehatan di lapangan kehidupan dalam jangkauannya. Statistik tentang
keuntungan perusahaan farmasi raksasa bertolak belakang dengan statistik upah
minimum atau kondisi kerja Nakes di banyak wilayah. Misalnya, beberapa
perusahaan farmasi global melaporkan keuntungan bersih puluhan miliar dolar per
tahun, sebuah angka yang sulit dikontemplasikan jika dibandingkan dengan upah
perawat atau teknisi kesehatan di Indonesia yang rata-rata masih jauh dari
standar hidup layak, apalagi dengan beban kerja dan risiko yang mereka hadapi.
Saat berita tentang 'Bill Gates dan Vaksin' beredar, apa yang terlintas di benak mereka? Mungkin bukan soal sains canggih, tapi: Apakah ini berarti ada pekerjaan? Kontraknya berapa lama? Gajinya lumayan kan ya? Aman nggak sih pekerjaannya? Nanti kalau udah nggak dibutuhkan, terus gimana? Anak sekolah butuh biaya, cicilan rumah jalan terus... Masa depan kok rasanya kayak benang kusut, mudah putus kapan aja.
Pikiran-pikiran ini, yang mencerminkan
ketidakpastian kepastian dan jaminan, adalah wujud paling nyata dari
eksploitasi dalam sistem yang menganggap tenaga kerja hanya sebagai variabel
biaya yang bisa ditekan atau dihilangkan sesuai kebutuhan.
Sebagai penutup, kunjungan Bill Gates dan rencana uji coba vaksin TBC di Indonesia adalah momentum penting. Ia mewakili potensi besar dari kolaborasi global dalam mengatasi masalah kesehatan lokal. Namun, ia juga harus menjadi cermin untuk introspeksi secara mendalam tentang bagaimana sistem kesehatan dan industri farmasi global beroperasi. Penting untuk memastikan bahwa proyek-proyek mempunyai tujuan yang baik meskipun tidak secara sengaja memperkuat ketidakadilan struktur yang sudah ada.
Berikan jaminan terhadap hak-hak dasar pekerja kesehatan – mulai dari kepastian kerja, upah yang layak, lingkungan kerja yang aman, hingga hak berserikat – bukanlah sekedar isu buruh, melainkan landasan dari sistem kesehatan yang kuat dan adil. Tanpa memperhatikan nasib mereka yang berada di garis depan, setiap keberhasilan dalam uji coba vaksin atau inisiatif kesehatan global lainnya akan terasa getir, dibangun di atas fondasi yang rapuh dari keringat dan dipublikasikan kepada para pejuang kesehatan kita.
Saat ini, dunia dan Indonesia, belajar dari
pandemi COVID-19: para pekerja kesehatan bukan sekadar alat dalam rantai pasok;
mereka adalah manusia yang berhak atas martabat, keamanan, dan keadilan.
Olah Kata : Tim Media FSP FARKES-R
Desain & Lay Outing : Ilyas Husein
0 Komentar