Menjelang
perayaan Hari Buruh Internasional, atau May Day, suara perjuangan dan
solidaritas pekerja menggema di seluruh penjuru dunia. May Day bukanlah sekadar
tanggal merah dalam kalender, melainkan monumen hidup bagi sejarah panjang
perlawanan terhadap penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan di dunia kerja.
Semangat May Day adalah semangat untuk menegakkan martabat manusia di hadapan
kuasa modal dan sistem yang abai.
Di tengah gaung
perjuangan ini, kita dikejutkan dan dilukai oleh terungkapnya kasus dugaan
eksploitasi yang mengerikan di balik gemerlap Sirkus Oriental Indonesia yang
beroperasi di Taman Safari Indonesia. Laporan yang mencuat ke permukaan
menggambarkan penderitaan puluhan tahun, bahkan sejak masa kanak-kanak, yang
dialami oleh para pekerja sirkus tersebut. Kisah mereka bukan hanya tragedi
personal, tetapi juga cerminan buram kondisi ketenagakerjaan di Indonesia hari
ini. Oleh karena itu, melalui artikel ini, kami menyampaikan sikap tegas kami
dan menyerukan solidaritas serta tindakan nyata.
May Day: Bara Perjuangan yang
Tak Boleh Padam
May Day lahir
dari perjuangan berdarah para buruh untuk mendapatkan hak-hak dasar: jam kerja
yang layak, upah yang adil, dan kondisi kerja yang manusiawi. Warisan
perjuangan ini tetap relevan hingga kini. Di Indonesia, May Day semestinya
menjadi momen refleksi kolektif tentang sejauh mana kita telah berhasil
melindungi dan menyejahterakan buruh kita, dan tantangan apa saja yang masih
menghadang.
Kita merayakan
May Day dengan hormat kepada para pejuang buruh di masa lalu, namun perayaan
ini terasa hambar dan ironis ketika realitas di lapangan masih menunjukkan
praktik-praktik yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, bahkan
yang paling mendasar sekalipun.
Ironi di Balik Gemerlap:
Kasus Sirkus Oriental Indonesia
Terungkapnya
dugaan eksploitasi terhadap pekerja Sirkus Oriental Indonesia di Taman Safari
Indonesia adalah tamparan keras bagi kita semua. Selama hampir tiga dekade (28
tahun), para individu ini, yang sebagian besar direkrut sejak mereka masih
anak-anak, dilaporkan hidup dalam kondisi yang memprihatinkan: kerja paksa yang
melelahkan, upah yang jauh di bawah standar atau bahkan tidak ada, minimnya
akses pendidikan dan kesehatan yang layak, serta terisolasi dari dunia luar dan
hak-hak sipil mereka.
Mereka adalah
anak-anak yang masa kecilnya dirampas, orang dewasa yang martabatnya
diinjak-injak, ditahan dalam lingkaran eksploitasi yang kejam di balik panggung
riuh rendah dan tepuk tangan penonton. Ini bukan sekadar pelanggaran hak buruh;
ini adalah bentuk perbudakan modern yang tak termaafkan. Fakta bahwa ini bisa
terjadi selama puluhan tahun dan melibatkan anak-anak membuat kasus ini semakin
menyakitkan dan mengejutkan.
Hukum Ketenagakerjaan yang
Tumpul di Hadapan Praktik Kejam?
Indonesia
memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta
berbagai peraturan turunan yang mengatur hak dan kewajiban pekerja dan
pengusaha, termasuk perlindungan terhadap pekerja anak, upah minimum, jam
kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hak berserikat dan berunding.
Namun, kasus
Sirkus Oriental Indonesia secara telanjang menunjukkan adanya kelemahan
fundamental dalam penerapan dan penegakan hukum ketenagakerjaan kita. Bagaimana
mungkin praktik eksploitasi sekejam dan selama itu luput dari pengawasan
pemerintah? Di mana peran Dinas Tenaga Kerja, pengawas ketenagakerjaan, dan
otoritas terkait lainnya selama 28 tahun ini? Apakah ada mekanisme pengawasan
yang tidak berjalan, atau bahkan ada kelalaian serius?
Kasus ini
memunculkan pertanyaan krusial:
- Efektivitas
Pengawasan: Seberapa efektif pengawasan ketenagakerjaan kita di
sektor-sektor yang mungkin terpencil atau memiliki pola kerja tidak biasa
seperti sirkus?
- Perlindungan
Pekerja Rentan: Apakah mekanisme perlindungan kita cukup kuat untuk
menjangkau kelompok paling rentan, termasuk mereka yang direkrut sejak
kecil dan terisolasi?
- Penegakan
Hukum: Mengapa sanksi hukum, baik pidana maupun perdata,
tampaknya tidak cukup preventif atau represif untuk menghentikan praktik
eksploitasi seperti ini?
- Koordinasi Lintas Sektor: Kasus ini
melibatkan anak-anak; di mana koordinasi antara instansi ketenagakerjaan,
perlindungan anak, kesejahteraan sosial, dan kepolisian dalam mencegah dan
menangani kasus semacam ini?
Klaim bahwa
para pekerja tersebut mungkin dianggap 'bukan buruh' dalam arti formal atau
terikat pada 'tradisi' tertentu tidak boleh menjadi alasan untuk membiarkan
praktik yang melanggar hak asasi manusia dan hukum nasional. Pekerjaan, apa pun
bentuknya, harus tunduk pada prinsip-prinsip hak buruh yang mendasar.
Pernyataan Sikap Dan Seruan
Menjelang Mayday 2025
Menjelang May
Day, kami menyatakan sikap tegas:
- Mengutuk
Keras Eksploitasi: Kami mengutuk keras praktik dugaan eksploitasi yang
terjadi di Sirkus Oriental Indonesia (Taman Safari Indonesia) selama
puluhan tahun. Praktik ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan
pelanggaran berat terhadap hak-hak pekerja, khususnya anak-anak.
- Menuntut
Keadilan bagi Korban: Kami menuntut penyelidikan menyeluruh dan
transparan atas kasus ini. Pihak-pihak yang bertanggung jawab atas
eksploitasi ini harus dimintai pertanggungjawaban hukum, baik pidana
maupun perdata. Para korban berhak mendapatkan keadilan, kompensasi yang
layak, rehabilitasi (fisik dan psikologis), serta program reintegrasi
sosial agar mereka dapat memulai hidup baru dengan martabat yang pulih.
- Mendesak
Penguatan Penegakan Hukum: Pemerintah, melalui Kementerian
Ketenagakerjaan dan dinas-dinas terkait di daerah, harus segera
mengevaluasi dan mereformasi mekanisme pengawasan ketenagakerjaan.
Penegakan hukum harus diperkuat. Pengawas ketenagakerjaan harus diberi
sumber daya dan kewenangan penuh untuk melakukan inspeksi mendadak dan
proaktif, terutama di sektor-sektor yang rentan terhadap eksploitasi.
- Mendorong
Revisi/Penguatan Aturan: Apabila ada celah dalam undang-undang
atau peraturan yang memungkinkan praktik seperti ini berlanjut, diperlukan
revisi atau penguatan aturan, termasuk definisi yang lebih luas tentang
"pekerja" dan "hubungan kerja" serta sanksi yang lebih
berat.
- Menyerukan Solidaritas Masyarakat: Kasus ini adalah
pengingat bahwa perjuangan May Day belum usai. Kita sebagai masyarakat
tidak boleh abai. Kita harus lebih peka terhadap potensi eksploitasi di
sekitar kita, berani melaporkan dugaan praktik ilegal, dan memberikan
dukungan kepada para korban serta organisasi-organisasi yang berjuang
untuk hak-hak buruh.
May Day harus
menjadi lebih dari sekadar ritual tahunan. Ia harus menjadi pemicu bagi
tindakan nyata untuk menciptakan dunia kerja yang adil, manusiawi, dan bebas
dari segala bentuk eksploitasi. Kisah pilu dari balik gemerlap sirkus adalah
panggilan darurat bagi nurani kolektif kita dan bagi negara untuk hadir secara
penuh dalam melindungi setiap warga negaranya dari penindasan.
Mari jadikan
May Day tahun ini sebagai titik balik. Mari kita berdiri bersama para korban
sirkus, bersama seluruh buruh yang masih berjuang, dan memastikan bahwa hukum
ketenagakerjaan kita tidak hanya indah di atas kertas, tetapi benar-benar hidup
dan melindungi martabat setiap pekerja di bumi pertiwi ini.
Hidup Buruh!
Lawan Eksploitasi! Tegakkan Keadilan untuk Semua!
Ilyas Husein
0 Komentar