Kita sebagai species Homo Sapiens, terutama sejak revolusi industri di abad 18, acap mengabaikan prinsip keberlanjutan dalam hidup di planet bumi, dalam memanfaatkan kekayaan alam. Kita seringkali mengabaikan apakah planet bumi masih akan dapat memberikan dukungan bagi kehidupan dan kesejahteraan generasi-generasi mendatang. Dengan kata lain, kita mencuri, merampas masa depan anak-anak kita sendiri.
Gelombang… selalu gelombang. Dari lautan (Keserakahan) tak berujung, datang lagi dan lagi. Kali ini, gelombang itu konon ber label “hijau”, katanya sustainable, katanya peduli bumi. Investasi peduli bumi. Indahnya kata-kata itu, semanis madu yang dijanjikan para pemilik modal. Tapi tunggu… madu ini baunya kok sedikit sangit? Ah, mungkin hanya imajinasiku saja. Atau mungkin… bau uang? Uang. Ya, selalu uang. Dulu mengejar profit dengan membabat hutan, menggali bumi sampai bolong, memuntahkan asap ke langit, sekarang… katanya investasinya berkelanjutan. Dulu batubara hitam pekat, sekarang energi surya secerah mentari. Dulu pabrik asap neraka, sekarang… katanya pabrik panel surya yang ramah lingkungan. Tapi tunggu lagi… apakah benar sehijau itu? Apakah sesederhana itu?.
Greta, gadis kecil dengan kepang dua, suaranya membelah dinginnya Konferensi Iklim. “How dare you!” Beraninya kalian! Beraninya kalian mencuri masa depan kami, masa depan anak cucu kami demi… demi apa? Demi pertumbuhan ekonomi? Demi pundi-pundi yang tak pernah penuh? Demi… investasi? [Kutipan Greta Thunberg: "We are in the beginning of a mass extinction, and all you can talk about is money and fairy tales of eternal economic growth. How dare you!"] Kata-katanya seperti cambuk, melecut kesadaran yang mulai tumpul. Anak kecil ini melihat apa yang orang dewasa pura-pura tidak lihat. Kerusakan nyata, ancaman nyata, bukan sekadar angka-angka di laporan keuangan.
Tapi tunggu… investasi peduli bumi… bukankah ini solusi yang ditawarkan? Uang bisa bekerja untuk kebaikan, katanya. Dana pensiun, investasi jangka panjang, semua dialihkan ke perusahaan yang hijau, yang berkelanjutan. ESG, impact investing, istilah-istilah keren bertebaran. Investor kelas kakap berbondong-bondong mengklaim diri sebagai pahlawan bumi. Senyum mengembang di bibir para CEO, presentasi power point penuh grafik menanjak hijau.
Tapi tunggu… di balik layar hijau itu, bayang-bayang buram masih menari. Serikat pekerja berteriak di jalanan. Upah murah, kondisi kerja tidak manusiawi, PHK massal karena otomatisasi. Perjuangan buruh seakan tak pernah usai, dari abad lalu hingga hari ini. Dulu melawan mesin uap yang mencuri pekerjaan, sekarang melawan… energi terbarukan? Ironi macam apa ini?
"Kapitalisme datang ke dunia 'berlinang-linang dari kepala sampai kaki, dari setiap pori, dengan darah dan kotoran.'"
Apakah transisi hijau ini akan adil? Apakah hanya investor dan korporasi besar yang akan menikmati buahnya, sementara buruh tetap jadi tumbal?
Di ujung sana, di pabrik-pabrik panel surya yang katanya hijau itu, siapa yang bekerja? Di pertambangan lithium yang katanya untuk baterai ramah lingkungan, siapa yang menggali? Di perkebunan sawit yang katanya berkelanjutan, siapa yang merawat dan menuai? Tangan-tangan kasar, punggung-punggung membungkuk, wajah-wajah lelah. Mereka, para pekerja, tulang punggung ekonomi, seringkali terlupakan dalam gembar-gembor sustainable investing. Apakah investasi peduli bumi ini juga peduli pada mereka? Atau hanya peduli pada image hijau di mata publik dan potensi keuntungan jangka panjang?
Bumi ini, oh bumi… Dulu indah permai, sekarang luka menganga di sana-sini. Hutan Kalimantan terbakar lagi, asapnya mencekik paru-paru. Gunung-gunung Jawa diborong demi semen, air bersih semakin langka. Laut Sulawesi tercemar plastik, ikan-ikan mati mengambang. [Kutipan tentang kerusakan alam dan eksploitasi: "Bumi menyediakan cukup untuk memuaskan kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak untuk keserakahan setiap manusia." - Mahatma Gandhi]
Kapitalisme, mesin rakus yang tak pernah kenyang, terus menggerogoti ibu pertiwi. Investasi peduli bumi… apakah ini penawar racun, atau hanya kosmetik untuk menutupi borok yang semakin parah?
DATA : Gelombang investasi yang berkelanjutan dan bertanggungjawab, yang mengintegrasikan aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola yang baik, atau ESG (environment, social, governance), tidak terbendung lagi. Menurut PRI saat ini lebih dari 1900 pengelola dan pemilik aset keuangan yang mengontrol dana sebesar $89 triliun, telah berkomitmen untuk mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan dan ESG dalam pengelolaan portoflolio mereka. MSCI mengungkapka bahwa dana kelolaan reksadana ETF berbasis ESG di seluruh dunia naik lebih dari 12x lipat dalam 5 tahun terakhir. Kemudian, survei terakhir US SIF (Sustainable Investment Forum) tahun 2019 , lebih dari seperempat dana kelolaan investasi di AS telah mengacu pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
Tabel Kerusakan Alam Akibat Eksploitasi Kapitalisme
Gelombang hijau ini… mungkin ada harapan di dalamnya. Mungkin ada niat tulus untuk berubah. Tapi tanpa keadilan sosial, tanpa perubahan sistemik yang mendasar, tanpa suara buruh didengar, investasi peduli bumi ini hanya akan menjadi gelombang semu, buih sabun yang indah namun rapuh. Kita butuh lebih dari sekadar investasi. Kita butuh revolusi. Revolusi kesadaran, revolusi sistem, revolusi… cinta pada bumi dan sesama manusia.
Atau mungkin… aku terlalu pesimis. Mungkin gelombang hijau ini benar-benar membawa perubahan. Mungkin uang, yang selama ini jadi sumber masalah, bisa jadi bagian dari solusi. Mungkin… tapi keraguan ini tetap mengganjal di dada. Karena mata ini masih melihat asap mengepul, air menghitam, dan jeritan pekerja yang tak pernah benar-benar didengar. Gelombang hijau… mari kita lihat, apakah ia akan membawa harapan atau hanya ilusi belaka. Waktu, dan aksi nyata, yang akan menjawabnya.
Ilyas Husein
0 Komentar