google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Polemik Kebijakan Elpiji 3 Kg: Antara Pasokan Vital Negara dan Peluang Usaha Rakyat Kecil

Polemik Kebijakan Elpiji 3 Kg: Antara Pasokan Vital Negara dan Peluang Usaha Rakyat Kecil

Ilustrasi AI

Menteri Kebijakan ESDM Bahlil Lahadalia yang melarang penjualan gas elpiji 3 Kg melalui pengecer telah memicu gelombang kontroversi. Fahmy Radhi, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan tajam mengkritisi kebijakan ini sebagai sebuah “blunder” yang mendasar. Regulasi yang membatasi distribusi gas bersubsidi ini, hanya memperbolehkan penjualan melalui pangkalan dan penyalur resmi Pertamina, memaksa pengecer untuk bertransformasi menjadi entitas resmi dalam waktu singkat, yaitu satu bulan. Namun, di balik tujuan yang mungkin mulia, kebijakan ini justru berpotensi menggerogoti pengiriman ekonomi rakyat kecil dan mengabaikan mandat negara dalam menjamin pasokan penting serta menciptakan lapangan usaha.


Kritik dari Analis

Analisis Fahmy Radhi menyoroti dampak negatif kebijakan ini yang meluas. Pertama dan utama, larangan ini Mengancam keberlangsungan usaha mikro dan kecil (UMK) di tingkat akar rumput. Pengecer, yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi elpiji 3 Kg hingga pelosok negeri, terancam tereliminasi dari ekosistem ekonomi informal yang vital. Mereka bukan sekedar perantara, melainkan memastikan rantai penting yang aksesibilitas gas bagi masyarakat, terutama di daerah yang jauh dari pangkalan resmi. Dengan menghilangkan peran pengecer, pemerintah secara tidak langsung meniadakan sumber pendapatan bagi jutaan keluarga pengusaha kecil, meningkatkan potensi pengangguran, dan ironisnya, justru berisiko menambah jumlah penduduk miskin. Kebijakan ini bak pisau bermata dua; Alih-alih menata distribusi, justru berpotensi memperparah masalah sosial-ekonomi yang ada.


Muatan Kebijakan

Lebih lanjut, kebijakan ini bertentangan dengan keharusan negara untuk menjaga pasokan vital bagi rakyat .

Gas elpiji 3 Kg adalah kebutuhan dasar bagi sebagian besar rumah tangga dan UMK. Membatasi titik distribusi hanya pada pangkalan resmi, tanpa mempertimbangkan geografis dan kemampuan adaptasi pengecer, justru berpotensi menghambat aksesibilitas masyarakat terhadap pasokan vital ini.

Masyarakat berpendapatan rendah, yang seringkali tinggal jauh dari pangkalan resmi, akan kesulitan dan terbebani biaya transportasi untuk mendapatkan bahan bakar. Kebijakan ini alih-alih menyederhanakan, justru berpotensi memperumit urusan rakyat terkait memenuhi kebutuhan pokok.

Di sisi lain, kebijakan ini juga mengabaikan mandat negara untuk memberi peluang usaha pada rakyat . Sektor pengecer elpiji 3 Kg adalah ruang ekonomi riil bagi masyarakat kecil untuk mencari nafkah. Menutup ruang ini sama saja dengan menghilangkan potensi pemberdayaan ekonomi akar rumput .


Transformasi menjadi pangkalan resmi, sebagaimana disyaratkan, bukanlah solusi yang realistis bagi sebagian besar pengecer kecil. Kendala modal untuk pengadaan gas dalam skala besar, persyaratan administrasi yang rumit, dan persaingan dengan pemain yang lebih besar menjadi penghalang tembok yang sulit ditembus.
Kebijakan ini justru menutup pintu peluang usaha bagi rakyat kecil, padahal negara seharusnya hadir untuk memfasilitasi dan mengembangkan potensi ekonomi mereka.


PENUTUP

Ironisnya, kebijakan ini juga dinilai tidak konsisten dengan agenda pro-rakyat kecil yang digaungkan Presiden Prabowo. Janji untuk memperkuat kerakyatan ekonomi dan melindungi UMKM seolah bertolak belakang dengan kebijakan yang justru berpotensi mematikan usaha kecil di sektor vital seperti distribusi elpiji. Kebijakan ini terkesan terburu-buru dan kurang mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi yang mendalam, khususnya nasib para pengecer kecil dan konsumen berpendapat rendah.

Kesimpulan

Kebijakan pelarangan penjualan elpiji 3 Kg melalui pengecer, meski mungkin dilandasi niat baik untuk pengaturan distribusi, justru berpotensi menjadi bumerang. Kebijakan ini tidak hanya kontraproduktif dalam menjaga pasokan vital negara bagi rakyat dengan menghambat aksesibilitas, tetapi juga berbeda dengan semangat memberi peluang usaha kepada rakyat kecil dengan mengeliminasi sektor pengecer. Negara memiliki tanggung jawab mendasar untuk memastikan ketersediaan pasokan penting bagi seluruh rakyatnya, sekaligus menciptakan lingkungan ekonomi yang menguntungkan bagi pertumbuhan usaha kecil. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji ulang secara mendalam dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, terutama pelaku usaha kecil dan masyarakat konsumen, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan selaras dengan mandat negara dalam menyejahterakan seluruh warganya. Sebuah kebijakan yang efektif seharusnya mampu menyelenggarakan distribusi tanpa mengorbankan mata pencaharian rakyat dan mengakses mereka terhadap kebutuhan dasar.

Design Prompt : Ilyas Husein

Posting Komentar

0 Komentar