google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 Mengapa Kita Harus Belajar? Filosofi Pendidikan di Dunia Modern dan Relevansinya dalam Serikat Pekerja

Mengapa Kita Harus Belajar? Filosofi Pendidikan di Dunia Modern dan Relevansinya dalam Serikat Pekerja

     

    Belajar

    “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”
    ― Tan Malaka (nama Samaran Lain : Ilyas Husein, Oong Soong Lee)


    Pernahkah kita benar-benar merenungkan pertanyaan mendasar: mengapa kita harus belajar? Pertanyaan yang tampaknya sederhana ini sering kali luput dari perhatian, tertutupi oleh rutinitas sekolah dan tuntutan kurikulum. Padahal, pemahaman yang mendalam tentang tujuan belajar dapat mengubah cara kita memandang pendidikan dan dampaknya bagi kehidupan kita.

    Dalam monolog #BernalarBerdayaSpesial, Prof. Dr. Francisco Budi Hardiman, seorang Guru Besar Filsafat dari Universitas Pelita Harapan, mengajak kita untuk menelisik filosofi pendidikan. Beliau mengupas tuntas mengapa kita harus belajar, menyingkap paradoks dalam sistem pendidikan modern, dan menawarkan perspektif segar tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu dijalankan. Perspektif ini, jika kita telaah lebih lanjut, memiliki relevansi yang mendalam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam gerakan serikat pekerja.

    Mengapa Kita Belajar? Pertanyaan yang Jarang Terungkap

    Prof. Hardiman memulai dengan sebuah pertanyaan provokatif: mengapa kita harus belajar? Di satu sisi, negara memfasilitasi proses belajar melalui berbagai lembaga dan kurikulum. Kita memiliki Departemen Pendidikan Dikti, birokrasi yang mengatur sekolah-sekolah, dan berbagai program yang dirancang untuk mempermudah akses pendidikan. Namun, di sisi lain, campur tangan negara ini juga menimbulkan ambivalensi. Apakah kehadiran negara dalam pendidikan benar-benar membantu, atau justru membatasi potensi kita? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita mempertimbangkan konteks serikat pekerja, organisasi yang seringkali berhadapan dengan negara dan korporasi dalam memperjuangkan hak-hak pekerja.

    Belajar Sebagai Esensi Kehidupan

    Belajar bukanlah sekadar aktivitas di sekolah. Ini adalah bagian integral dari kehidupan kita. Sejak kita kecil, belajar berjalan, berbicara, hingga dewasa belajar berpacaran, berumah tangga, bahkan menjadi tua. Homo sapiens adalah learning being, makhluk yang tak pernah berhenti belajar. "Seluruh hidup kita ini adalah belajar," tegas Prof. Hardiman. Dalam konteks serikat pekerja, prinsip ini menjadi sangat krusial. Dunia kerja terus berubah dengan cepat akibat perkembangan teknologi, globalisasi, dan dinamika ekonomi. Serikat pekerja dan anggotanya harus terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan dan efektif dalam memperjuangkan kepentingan pekerja. Pembelajaran berkelanjutan menjadi kunci bagi serikat pekerja untuk terus meningkatkan kapasitas anggotanya, mengembangkan strategi yang inovatif, dan menghadapi tantangan zaman.

    Namun, masyarakat modern telah mengatur proses belajar melalui lembaga-lembaga formal. Struktur ini bisa jadi bumerang jika kita tidak berhati-hati. Kita berisiko terlalu fokus pada hasil, seperti lulus ujian atau mendapatkan ijazah, dan melupakan esensi dari belajar itu sendiri. Dalam serikat pekerja, bahaya serupa juga mengintai. Serikat pekerja bisa terjebak dalam rutinitas dan formalitas organisasi, melupakan tujuan esensialnya yaitu pemberdayaan pekerja dan perjuangan keadilan sosial. Pembelajaran dalam serikat pekerja tidak boleh hanya menjadi formalitas pelatihan atau seminar, tetapi harus menjadi proses reflektif dan transformatif yang mendorong anggota untuk terus berkembang dan berpartisipasi aktif.

    Dua Model Pembelajaran: Mekanistik vs. Organistis dan Relevansinya bagi Serikat Pekerja

    Prof. Hardiman menawarkan dua model untuk memahami tujuan belajar: model mekanistik dan model organistis. Model mekanistik memandang masyarakat sebagai mesin, dan sekolah sebagai bagian dari mesin tersebut. Tujuan pendidikan adalah menghasilkan tenaga kerja yang fungsional untuk pasar kerja. Sekolah berfungsi "menjinakkan" individu agar sesuai dengan kebutuhan industri. Dalam model ini, siswa dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan informasi. Prof. Hardiman menyebut konsep ini sebagai banking concept of education, meminjam istilah dari Paulo Freire.

    Model mekanistik ini, jika diterapkan dalam konteks serikat pekerja, akan sangat berbahaya. Serikat pekerja yang mengadopsi model ini akan terjebak dalam pandangan bahwa anggotanya hanyalah "sumber daya manusia" yang perlu dilatih agar sesuai dengan kebutuhan industri atau organisasi. Pelatihan dan pendidikan anggota hanya akan fokus pada keterampilan teknis yang sempit, melupakan aspek-aspek penting seperti kesadaran kelas, solidaritas, kemampuan berorganisasi, dan pemahaman tentang hak-hak pekerja. Model mekanistik akan melumpuhkan potensi serikat pekerja sebagai gerakan sosial yang transformatif.


    “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin.(Pendahuluan - Perpustakaan page 24)”
    ― Tan Malaka, Madilog

    Sebaliknya, model organistis melihat masyarakat dan sekolah sebagai taman, tempat setiap individu memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sekolah adalah bagian integral dari masyarakat, bukan entitas yang terpisah. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan: apakah siswa tumbuh menjadi individu yang lebih baik? Prof. Hardiman menekankan pentingnya menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas siswa. Belajar bukanlah sekadar menghafal fakta, tetapi tentang mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik. "Kita belajar bukan untuk sekolah, tapi untuk hidup," tegasnya, mengutip pepatah Latin yang terkenal.

    Model organistis inilah yang seharusnya menjadi landasan filosofi pendidikan dalam serikat pekerja. Serikat pekerja harus menjadi "taman" bagi anggotanya untuk tumbuh dan berkembang secara holistik. Pendidikan serikat pekerja harus dirancang untuk menumbuhkan rasa ingin tahu anggota, mendorong kreativitas mereka dalam mencari solusi untuk masalah-masalah di tempat kerja dan masyarakat, dan membantu mereka menjadi individu yang lebih baik, lebih sadar, dan lebih berdaya. Pembelajaran dalam serikat pekerja harus melampaui sekadar pelatihan keterampilan teknis. Ia harus mencakup pendidikan tentang sejarah gerakan buruh, teori-teori sosial, ekonomi politik, keterampilan berorganisasi, negosiasi, advokasi, dan pengembangan kepemimpinan.

    Melampaui Sains: Pentingnya Kemanusiaan dalam Serikat Pekerja

    Prof. Hardiman mengingatkan kita tentang bahaya terlalu fokus pada sains dan teknologi. Sains memang penting, tetapi kita tidak boleh melupakan aspek kemanusiaan. Manusia adalah makhluk yang rentan, rapuh, dan emosional. Pendidikan harus mengakui dan merangkul kerapuhan ini. "Pendidikan yang terlalu berorientasi pada sains dan teknologi ada bahaya tidak memperhatikan aspek kemanusiaan," ujarnya.

    Peringatan ini sangat relevan dalam konteks serikat pekerja di era industri 4.0 dan disrupsi teknologi. Serikat pekerja tidak boleh terpaku hanya pada isu-isu teknis seperti otomatisasi dan digitalisasi, melupakan aspek kemanusiaan pekerja. Pendidikan serikat pekerja harus menekankan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, seperti solidaritas, empati, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Serikat pekerja harus menjadi pelopor dalam memperjuangkan human-centered approach dalam menghadapi perubahan dunia kerja, memastikan bahwa teknologi digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, bukan sebaliknya.

    Gua Plato: Metafora Kuat untuk Belajar dan Pembebasan Pekerja

    Prof. Hardiman menggunakan alegori Gua Plato untuk menggambarkan proses belajar. Bayangkan sekelompok tahanan yang sejak kecil terikat di dalam gua. Mereka hanya melihat bayangan di dinding, dan menganggap bayangan itu sebagai realitas. Ketika salah seorang tahanan berhasil melarikan diri, dia terkejut melihat dunia luar yang sebenarnya. Melarikan diri dari gua adalah seperti proses belajar. Guru harus membantu siswa melihat melampaui "bayangan" dan menyadari bahwa apa yang mereka anggap sebagai kebenaran mungkin hanyalah false belief. Belajar sejati melibatkan pelepasan false belief, atau dellearning.

    Alegori Gua Plato ini sangat relevan untuk memahami peran pendidikan dalam serikat pekerja. Banyak pekerja terperangkap dalam "gua" false belief tentang kondisi kerja mereka, hak-hak mereka, dan kekuatan mereka sebagai kolektif. Mereka mungkin percaya bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi kerja yang buruk, bahwa mereka tidak berdaya melawan perusahaan, atau bahwa serikat pekerja tidak relevan lagi di era modern.

    Pendidikan serikat pekerja harus berfungsi sebagai "pelarian dari gua" bagi para pekerja. Melalui pendidikan, serikat pekerja membantu anggota untuk melihat melampaui "bayangan" false belief dan menyadari realitas yang sebenarnya: bahwa mereka memiliki hak, bahwa mereka memiliki kekuatan kolektif, dan bahwa serikat pekerja adalah instrumen penting untuk memperjuangkan perbaikan kondisi kerja dan keadilan sosial. Proses ini tidak mudah. Dibutuhkan keberanian untuk mempertanyakan keyakinan yang sudah lama kita anut. Namun, imbalannya adalah kebebasan dan pemberdayaan.

    “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”
    ― Tan Malaka

    Kesimpulan: Belajar untuk Hidup, Belajar untuk Perjuangan

    Prof. Hardiman mengajak kita untuk memahami bahwa belajar adalah esensi kehidupan. Filosofi pendidikan yang diusungnya, yang menekankan model organistis, pentingnya kemanusiaan, dan proses dellearning, sangat relevan dalam konteks serikat pekerja. Serikat pekerja harus menjadi organisasi pembelajaran yang berkelanjutan, yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pengembangan holistik anggotanya. Pendidikan serikat pekerja harus menjadi alat untuk pemberdayaan, pembebasan dari false belief, dan penguatan solidaritas. Dengan demikian, serikat pekerja dapat memainkan peran yang lebih efektif dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, menciptakan tempat kerja yang lebih adil dan manusiawi, dan berkontribusi pada perubahan sosial yang lebih luas. Belajar di serikat pekerja bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan kerja, tetapi juga untuk memperkuat perjuangan, untuk membangun dunia yang lebih adil bagi semua pekerja.



    Posting Komentar

    0 Komentar