google-site-verification=ZmMQjNJaafwUyB4tCOuIr-ULeAPr_l_bz-JGQBYe-k4 MAYDAY GENERASI Z: Dulu Solidaritas Dunia, Sekarang Sekadar Cari Libur Panjan

MAYDAY GENERASI Z: Dulu Solidaritas Dunia, Sekarang Sekadar Cari Libur Panjan

 Tentu, mari kita buat artikel yang kamu minta.

Reaktualisasi may day dari Film Indonesia Calling



Bro, let's be real, tiap tanggal 1 Mei kalender merah kan? Selamat Hari Buruh! Biasanya pada nyantai, atau malah ribut nyari long weekend buat healing ke pantai. No judgement, liburan emang penting. Tapi, pernah nggak sih lo kepikiran, kenapa tanggal 1 Mei itu jadi hari libur? Kenapa Hari Buruh dirayain? Apa cuma sekadar formalitas dari pemerintah biar keliatan peduli sama pekerja?

Gue jadi keingetan sama satu film jadul banget, judulnya Indonesia Calling. Film pendek hitam putih tahun 1946, vibes-nya emang old school abis. Tapi sumpah, pesannya itu deep banget, nampol jiwa. Film ini nyeritain solidaritas buruh pelabuhan di Australia yang nolak keras buat ngangkut kapal-kapal Belanda yang mau balik lagi menjajah Indonesia pasca perang dunia kedua. Gokilnya, ini bukan buruh Indonesia doang, tapi buruh Australia, buruh dari berbagai negara, yang bersatu padu, lintas bangsa, lintas agama, lintas ideologi, demi satu tujuan: merdeka dari penjajahan, bebas dari penindasan kapitalisme feodalistik.

Wait, kapitalisme feodalistik? Ini apaan lagi? Gini, simple-nya, jaman dulu tuh penjajahan nggak cuma soal negara A ngejajah negara B doang. Tapi juga soal sistem ekonomi yang bikin segelintir orang kaya raya dan berkuasa (kaum feodal), sementara mayoritas rakyat (termasuk buruh) dihisap habis-habisan buat memperkaya mereka (kapitalisme). Nah, buruh-buruh jaman old di Indonesia Calling itu paham banget akar masalahnya. Perjuangan mereka bukan cuma soal gaji naik atau jam kerja dikurangin, tapi soal membebaskan manusia dari sistem yang nggak adil dan menindas.

Coba deh bayangin. Tahun 1946, internet belum ada, social media apalagi, komunikasi susah banget. Tapi buruh-buruh ini bisa berorganisasi lintas negara, ngumpulin informasi, bikin gerakan yang dampaknya gede banget buat kemerdekaan Indonesia. Menurut catatan sejarah, aksi boikot buruh pelabuhan Australia ini beneran bikin Belanda kelimpungan. Kapal-kapal mereka nggak bisa berangkat, logistik macet, rencana penjajahan ulang jadi kacau balau. Bahkan, ada statistik yang bilang, boikot ini mempercepat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. That’s how powerful solidarity can be, guys!

Fast forward ke jaman now. Tanggal 1 Mei tetep Hari Buruh. Demo buruh juga masih ada. Tapi jujur, vibes-nya beda banget sama Indonesia Calling. Dulu, semangatnya tuh solidaritas internasional, anti-penindasan sistemik, pembebasan manusia. Sekarang? Kebanyakan isu yang diangkat seputar hak-hak normatif buruh. Ya, nggak salah sih, hak normatif emang penting. Soal UMR naik, penghapusan outsourcing, jaminan kesehatan, K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Itu semua emang hak dasar yang harus dipenuhi.

Tapi, let’s be honest, seringkali perjuangan Mayday jaman now terkesan terkotak-kotak, sempit, dan fokusnya lebih ke dalam negeri doang. Gaungnya nggak global kayak dulu. Solidaritas lintas negara, lintas sektor, lintas isu kayak di Indonesia Calling rasanya jauh banget. Bahkan dalam satu negara pun, seringkali gerakan buruh pecah belah, antar serikat buruh jalan sendiri-sendiri, nggak ada persatuan yang solid kayak buruh-buruh jaman old.

Kenapa bisa gini? Kenapa Mayday jaman now kayak kehilangan gregetnya? Kenapa semangat solidaritas internasional dan perjuangan melawan sistem penindasan kayak memudar?

Mungkin, salah satu penyebabnya adalah perubahan konteks jaman. Dulu, konfrontasi antara buruh dan pemilik modal terasa lebih jelas. Kapitalisme jaman dulu emang terlihat lebih kasar, lebih eksploitatif, lebih feodalistik. Buruh terlihat jelas posisinya sebagai pihak yang tertindas. Solidaritas itu muncul karena ada musuh bersama yang jelas.

Tapi jaman now, kapitalisme bertransformasi jadi lebih smooth, lebih halus, lebih sophisticated. Lewat globalisasi, neoliberalisme, dan teknologi, kapitalisme merasuk ke sendi-sendi kehidupan kita tanpa kita sadari. Penindasan nggak lagi terlihat kasar kayak dulu, tapi lebih terselubung, lebih sistemik. Contohnya? Gig economy, kerja kontrak terus-terusan, upah minimum yang nggak cukup buat hidup layak, tekanan kerja yang tinggi, stres kerja, burnout, dan lain-lain.

Statistik bicara keras soal ini. Menurut data ILO (Organisasi Buruh Internasional), ketimpangan pendapatan di dunia makin melebar. The richest 1% now own nearly half of global wealth. Kesengsaraan buruh di negara-negara berkembang masih tinggi. Perbudakan modern masih eksis dalam berbagai bentuk. Bahkan di negara-negara maju pun, kelas menengah tergerus, generasi muda terjebak dalam pekerjaan precarious, dan kesenjangan sosial makin nyata.

Di Indonesia sendiri, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah pekerja informal masih dominan, mencapai sekitar 60% dari total angkatan kerja. Artinya, mayoritas pekerja kita rentan, tanpa jaminan kerja yang pasti, tanpa perlindungan sosial yang memadai. Upah minimum memang naik tiap tahun, tapi kenaikan harga kebutuhan pokok juga lebih kencang. Alhasil, banyak buruh yang tetep kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

So, what’s the point of all this? Gue nggak bilang perjuangan hak normatif buruh itu nggak penting. Penting banget! Tapi, kita juga kudu inget, Mayday itu awalnya lahir dari semangat yang lebih gede dari sekadar nuntut kenaikan gaji. Mayday itu lahir dari semangat solidaritas internasional, perjuangan melawan penindasan dalam segala bentuknya, dan cita-cita untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan bermartabat bagi semua manusia.

Buat generasi Z dan milenial, mungkin konsep “kapitalisme feodalistik” terdengar asing dan jadul. Tapi esensinya tetep relevan sampai sekarang. Penindasan dan ketidakadilan masih ada, cuma bentuknya aja yang berubah. Kita emang nggak lagi dijajah secara fisik kayak jaman dulu, tapi kita masih dijajah secara ekonomi, secara budaya, secara sistemik.

Mayday jaman now kudu lebih dari sekadar demo nuntut UMR naik. Mayday kudu jadi momentum buat kita refleksi diri, melihat akar masalah ketidakadilan yang lebih dalam, dan membangun solidaritas yang lebih luas. Solidaritas nggak cuma antar buruh di satu pabrik atau satu negara, tapi solidaritas lintas sektor, lintas isu, lintas generasi, bahkan lintas batas negara.

Kita bisa belajar dari semangat Indonesia Calling. Buruh-buruh jaman dulu berani bersolidaritas lintas negara demi kemerdekaan bangsa lain. Masa kita jaman now nggak bisa bersolidaritas lintas isu demi kemanusiaan dan keadilan yang lebih luas?

Isu perubahan iklim, ketimpangan sosial, diskriminasi, kekerasan gender, ketidakadilan hukum, korupsi, dan segala bentuk penindasan lainnya itu semuanya saling terkait. Semuanya berakar pada sistem yang sama, sistem yang mendewakan keuntungan pribadi di atas segala-galanya, sistem yang menindas yang lemah demi kepentingan yang kuat.

Mayday harusnya jadi pengingat buat kita semua, terutama generasi Z dan milenial, bahwa perjuangan belum berakhir. Bahwa keadilan dan kesejahteraan bukan hadiah dari penguasa, tapi sesuatu yang harus diperjuangkan bersama-sama. Bahwa solidaritas itu kekuatan kita yang paling ampuh.

Jadi, tanggal 1 Mei nanti, jangan cuma nyari libur panjang doang. Coba deh sedikit aja merenung, mengingat sejarah Mayday, dan memikirkan kontribusi apa yang bisa kita berikan buat perjuangan kemanusiaan dan keadilan jaman now. Mungkin dengan mulai dari hal-hal kecil, kayak lebih peduli sama sesama, lebih kritis sama isu-isu sosial, lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan positif, dan lebih berani berbicara untuk kebenaran dan keadilan.

Siapa tau, dengan semangat Mayday yang baru, yang lebih inclusive, lebih intersectional, dan lebih global, kita bisa membangun kembali solidaritas yang hilang, dan menciptakan dunia yang lebih baik buat kita semua. Sounds ambitious? Maybe. But hey, dream big, start small, act now! It’s Mayday, baby! Let’s make it matter, again.


Posting Komentar

0 Komentar