1 Mei. Udara terasa berbeda, nuansa perjuangan mulai terasa di atmosfer dunia serikat pekerja. Ada denyut semangat yang tak lekang oleh waktu, warisan perjuangan kelas pekerja yang mengakar kuat dalam sejarah peradaban. Mayday bukan sekadar tanggal di kalender, ia adalah panggung ingatan, tempat kita menoleh ke belakang, meresapi darah dan air mata para pendahulu yang bermandi peluh demi delapan jam kerja, hak berserikat, dan kehidupan yang manusiawi. Hari ini, di era digital yang katanya serba cepat dan efisien, gaung Mayday justru terasa semakin relevan, bahkan mendesak.
Kita, tim media serikat buruh, berdiri di sini, di garis depan informasi, menyaksikan lanskap dunia kerja yang berubah drastis. Dulu, pabrik dengan cerobong asap menjulang adalah simbol perburuhan. Sekarang, layar ponsel pintar dan algoritma menjadi medan tempur baru. Lahirlah istilah "pekerja gig"—mitra setara kata mereka, Tapi dalam potret realita yang kami lihat tak lebih dari budak digital .
Mereka adalah para pengemudi ojek daring yang berjibaku di jalanan panas dan hujan, para kurir paket yang berlomba dengan waktu, para freelancer yang bekerja dari kamar kost sempit hingga larut malam. Mereka dijanjikan kemandirian, fleksibilitas, menjadi "bos bagi diri sendiri". Sebuah ilusi indah yang dipoles kata-kata marketing, namun rapuh di hadapan realitas ekonomi yang keras.
Konsep "kemitraan" pekerja gig, mari kita bedah bersama. Kemitraan macam apa yang menempatkan satu pihak pada posisi tawar yang lemah, sepenuhnya bergantung pada platform digital raksasa? Kemitraan yang abai pada jaminan sosial, upah layak, dan kepastian kerja? Ini bukan kemitraan, ini eksploitasi gaya baru yang dibungkus rapi dalam kemasan digital.
Kita melihat sendiri, bagaimana algoritma mengatur hidup mereka. Penilaian yang tidak transparan, pemutusan kemitraan sepihak, tarif yang terus ditekan, dan persaingan yang tak sehat antar pekerja. Mereka bekerja keras, membanting tulang, namun seringkali hanya cukup untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Mimpi tentang kesejahteraan dan masa depan yang cerah, seringkali hanya menjadi fatamorgana di tengah gurun ketidakpastian.
"Esensi dari hubungan industrial yang sehat itu adalah dialog sosial. Ketika dialog sosial itu macet, maka yang terjadi adalah konflik." - Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak, Pakar Hubungan Industrial.
Pernyataan ini seperti tamparan keras bagi kita semua. Hubungan industrial Pancasila, yang mengedepankan musyawarah mufakat, kemitraan yang harmonis, dan keadilan sosial, terasa jauh panggang dari api di era pekerja gig ini.
Di mana nilai-nilai luhur Pancasila ketika pekerja gig terombang-ambing dalam ketidakpastian? Di mana “kemanusiaan yang adil dan beradab” ketika mereka diperlakukan hanya sebagai angka dan algoritma? Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jelas menyatakan, “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.” Apakah “syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil” ini sudah terpenuhi bagi pekerja gig? Tentu kita semua tahu jawabannya.
Mayday hari ini, bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang menatap masa depan. Masa depan dunia kerja yang semakin didominasi oleh platform digital dan ekonomi gig. Kita tidak anti perkembangan teknologi, justru kita harus memanfaatkannya untuk kemajuan bersama. Namun, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan perlindungan hak-hak pekerja, siapa pun mereka, apa pun bentuk pekerjaannya.
Sebagai tim media serikat buruh, suara kita adalah suara mereka yang terpinggirkan, yang seringkali tak terdengar. Kita akan terus mengadvokasi hak-hak pekerja gig, mendorong regulasi yang berpihak pada keadilan, dan membangun solidaritas antar pekerja untuk melawan eksploitasi. Semangat Mayday adalah semangat perlawanan, semangat perubahan. Mari kita kobarkan terus, agar jeritan "mitra" ini tidak lagi terdengar seperti jeritan korban di tengah gemerlap dunia digital. Karena pada akhirnya, buruh adalah manusia, bukan algoritma. Kemanusiaan yang adil dan beradab, itu yang kita perjuangkan.
Tulisan yang sama juga dapat dilihat di Website Resmi FSP FARKES-R
Tim Media FSP FARKES-R
0 Komentar