Bersama Bung Karno |
Dialog Imajiner: Ktut Tantri dan Gerakan Buruh Wanita Zaman Sekarang
Bung Tomo : Saja Tidak akan melupakan detik detik dikala k'tut Tantri, mengutjapkan pidatonya di muka mikrofon, sedangkan bom dan peluru-peluru mortir, berdjatuhan dengan dahsjat nya di keliling pemantjar radio pemberontakan-Bung Tomo
(Di ruang pertemuan yang hangat, para aktivis muda berkumpul. Mereka datang dari berbagai latar belakang, sebagian besar terlibat dalam gerakan buruh atau organisasi feminis yang memperjuangkan hak-hak pekerja wanita. Di depan mereka berdiri Ktut Tantri, seorang perempuan paruh baya yang pernah mengorbankan banyak hal demi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Wajahnya menatap penuh perhatian pada anak-anak muda yang duduk di depannya. Mereka adalah generasi yang tumbuh di dunia yang jauh berbeda, namun semangat perjuangan tetap mengalir dalam darah mereka.)
Bersama Jendral Hoegeng dan H. Masagung (Pemilik Toko Buku Gunung Agung) |
Ketut Tantri (memandang anak-anak muda itu dengan lembut, suara yang penuh kelembutan namun penuh makna)
"Anak-anak muda, saya melihat kalian. Kalian yang sedang berjuang untuk keadilan, kebebasan, dan martabat, di dunia yang terus berubah. Dulu, saya berjuang di tanah ini bukan hanya untuk kebebasan Indonesia, tetapi juga untuk hak-hak rakyat yang tertindas—mereka yang tidak bisa bersuara. Saya seorang perempuan, dan meskipun saya datang dari luar negeri, saya merasa ini adalah rumah saya. Saya memilih untuk berada di pihak kalian, meskipun itu penuh risiko."
Dika (seorang anak muda yang aktif dalam gerakan buruh)
"Tante Ktut, kami sering merasa seperti tidak cukup kuat. Kondisi buruh perempuan di zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan masa lalu. Kami bekerja di pabrik, di rumah tangga, atau di sektor informal, namun sering diperlakukan seperti mesin—dengan upah rendah dan tanpa jaminan perlindungan. Beberapa dari kami bahkan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dan tak jarang kami terancam PHK jika melawan ketidakadilan itu. Sepertinya tidak ada perubahan yang berarti. Apa yang harus kami lakukan?"
Ketut Tantri (melihat ke mata Dika dengan penuh empati, berbicara dengan suara yang tegas namun lembut, seolah berbicara dari hati ke hati)
"Saya paham betul perasaan kalian. Ketika saya tiba di Indonesia, saya melihat rakyat tertindas, dan saya tidak bisa berpangku tangan. Saya memutuskan untuk berjuang di sisi mereka, meskipun itu berarti saya harus menghadapi Jepang yang menindas. Sama seperti kalian, banyak pekerja perempuan yang saya temui di masa itu dipaksa bekerja tanpa perlawanan, bahkan dengan penderitaan yang tak terungkapkan. Saya dipenjara oleh penjajah Jepang, disiksa, dan dipaksa untuk menyerah, tetapi saya tidak akan pernah mundur. Perjuangan itu bukan soal menang atau kalah di satu waktu—tetapi tentang terus berdiri demi mereka yang tak bisa berbicara."
(Dia berhenti sejenak, matanya seperti mengingat kembali masa-masa sulit yang ia jalani, lalu melanjutkan dengan penuh keyakinan.)
"Anak-anak muda, saya tahu dunia kalian penuh dengan tantangan, namun jangan pernah merasa kecil. Saya, seorang perempuan asing, berani menghadapi penjajahan dan ketidakadilan. Begitu juga kalian—kalian adalah pahlawan yang berjuang untuk hak buruh perempuan. Mungkin kalian merasa lelah, namun perjuangan ini bukan hanya untuk kalian, tetapi juga untuk mereka yang akan datang setelah kalian."
Lina (seorang aktivis buruh yang sangat memperhatikan ketimpangan gender dalam dunia kerja)
"Tante, bagaimana Anda bisa bertahan di tengah penderitaan seperti itu? Apa yang membuat Anda tetap teguh berjuang, meskipun dihukum dan disiksa oleh penjajah?"
Ketut Tantri (dengan suara yang penuh kekuatan dan kelembutan yang tak tergoyahkan)
"Saya bertahan karena saya percaya pada satu hal: kita semua berhak hidup dengan martabat. Bahkan di penjara, di tempat yang sangat jauh dari kehidupan normal, saya tahu saya tidak sendirian. Saya berdiri untuk mereka yang tidak bisa berdiri, untuk mereka yang tidak punya suara. Seperti kalian, banyak buruh perempuan yang bekerja di tempat-tempat yang penuh dengan eksploitasi—baik di pabrik, di rumah tangga, atau di sektor informal. Mereka dipaksa untuk bekerja dengan upah yang tidak manusiawi, tanpa hak atas cuti yang layak, dan tanpa perlindungan dari pelecehan. Kalian berjuang untuk hak-hak dasar yang tak seharusnya kalian perjuangkan, tetapi dunia yang penuh ketidakadilan ini memaksa kalian untuk itu."
(Ketut Tantri menarik napas dalam, menatap Dika dan Lina dengan tatapan penuh harapan.)
"Tapi saya ingin kalian tahu satu hal: kalian tidak sendirian. Dalam setiap langkah kalian, kalian mewakili suara mereka yang tertindas. Kalian adalah suara bagi mereka yang tidak bisa berbicara, mereka yang dipaksa diam oleh sistem yang menindas. Ketika kalian berdiri untuk hak-hak kalian, kalian bukan hanya melawan perusahaan atau pemerintah, kalian sedang melawan sistem ketidakadilan yang sudah ada sejak lama."
Dika (dengan mata yang mulai berkaca-kaca, merasakan kekuatan kata-kata Ktut Tantri)
"Tante Ktut, kadang kami merasa terjepit. Kami merasa terisolasi, karena jika kami berbicara, kami bisa kehilangan pekerjaan. Bagaimana kami bisa melawan jika kami tidak punya kekuatan yang cukup?"
Ketut Tantri (dengan lembut namun tegas, seolah menenangkan jiwa-jiwa yang penuh kegelisahan)
"Anakku, ketakutan itu adalah bagian dari perjuangan. Tapi percayalah, kekuatan kalian bukan hanya terletak pada jumlah atau kekuatan fisik—tetapi pada keteguhan hati dan keyakinan kalian pada apa yang benar. Dulu, saya sendiri merasa seperti itu. Saya seorang perempuan asing di negeri yang penuh dengan penjajahan. Tetapi saya tahu bahwa meskipun mereka bisa mengikat tubuh saya, menelanjangi dan mengarak tubuh ringkih seorang perempuan di tahanan kempetai fasis kolonial-imperialis jepang untuk mempermalukannya, mereka tidak akan pernah bisa mengikat, memasung atau memenjarakan pikiran- pikiran dan suara saya. Begitu juga kalian. Tidak ada yang bisa menghentikan suara kalian jika kalian tidak takut untuk berbicara. Jangan takut untuk berbicara tentang ketidakadilan. Jangan takut untuk melawan sistem yang menindas."
Lina (dengan tekad yang semakin kuat di wajahnya)
"Terima kasih, Tante Ktut. Kata-kata Anda sangat menguatkan kami. Kami akan terus berjuang untuk hak-hak kami, tidak hanya untuk diri kami sendiri, tetapi juga untuk perempuan buruh lainnya yang tidak bisa berbicara."
Ketut Tantri (dengan senyum yang penuh kehangatan, matanya bercahaya penuh kebanggaan)
"Perjuangan ini bukan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Perjuangan ini adalah tentang seberapa besar hati kalian untuk terus berjuang demi kebenaran, demi hak-hak yang layak kalian dapatkan. Ketahuilah, meskipun dunia ini tidak selalu mendukung kalian, kalian tidak akan pernah berjalan sendirian. Saya ada di sini, dalam semangat perjuangan kalian. Kalian adalah masa depan, dan masa depan ini ada di tangan kalian. Jangan pernah berhenti berjuang untuk kebebasan, untuk keadilan, dan untuk martabat semua buruh perempuan."
(Dengan kata-kata itu, Ktut Tantri mengangkat tangannya, memberi semangat kepada anak-anak muda yang kini terlihat lebih berani dan lebih teguh dalam hati mereka.)
Kisah Lengkap Ktut Tantri dapat di baca disini :
Refleksi
Ktut Tantri mengajarkan kita bahwa perjuangan—baik di masa penjajahan maupun di masa kini—adalah tentang keberanian untuk menghadapi ketidakadilan, meskipun dihadapkan pada ketakutan dan ancaman. Seperti para aktivis buruh wanita zaman sekarang yang berjuang melawan eksploitasi dan ketimpangan, Ktut Tantri juga berjuang untuk mereka yang tidak bisa berbicara, untuk mereka yang ditindas. Pesannya yang lembut namun kuat memberi kita semangat untuk terus berjuang demi hak-hak dasar pekerja, terutama buruh perempuan, yang hingga kini masih terjebak dalam ketidakadilan sistemik.
Ktut Tantri bahkan pada saat menghembuskan nafas terakhirnya, permintaannya agar peti jenazahnya di tutup dengan bendera merah putih, dan renda putih khas Bali.
“Dengan risiko terlihat konyol, izinkan saya mengatakan bahwa seorang revolusioner sejati dibimbing oleh rasa cinta yang besar. Mustahil untuk membayangkan seorang revolusioner sejati tidak memiliki kualitas ini.”
―
Ide Penulisan Sumarnita Br Gurning
0 Komentar